Friday, April 8, 2011

Reklamasi Pantai Oleh Pengembang Real Estate Memiskinkan Para Nelayan

Reklamasi di sejumlah wilayah Tanah Air menyingkirkan ruang hidup nelayan kecil. Pelebaran daratan itu akan menggusur permukiman nelayan dan menyulitkan penangkapan ikan.

Hartono, nelayan di Kalibaru, Jakarta Utara, Jumat (8/4), menuturkan, nelayan kecil dengan kapal berbobot mati di bawah tiga ton umumnya mencari ikan pada jarak 5 kilometer-7 kilometer dari pinggiran laut. Jenis tangkapan seperti kepiting atau rajungan (kepiting laut) sudah semakin langka. Hasil tangkapan rajungan kini paling banyak hanya 1 kilogram-3 kilogram. Padahal, sekitar dua tahun lalu, hasil tangkapan rajungan bisa mencapai 10 kg-15 kg setiap hari.

”Jika reklamasi diteruskan, ikan menjadi terpencar-pencar dan semakin sulit didapat. Kami harus mencari ikan semakin jauh ke tengah laut, tanpa kejelasan hasil,” ujar Hartono.

Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), reklamasi pantai akan tersebar di Jakarta, Surabaya, Semarang, Balikpapan, Padang, Makassar, dan Manado.

Di Jakarta, reklamasi pantai membutuhkan bahan urukan sekitar 330 juta meter kubik. Reklamasi tersebut memperkeruh laut yang saat ini sudah tercemar. Apalagi, dalam delapan bulan terakhir, pencemaran Teluk Jakarta akibat limbah semakin tidak terkendali.

Koordinator Program Kiara Abdul Halim menilai, reklamasi yang terus dibiarkan di Jakarta akan mematikan mata pencarian dan ruang hidup sedikitnya 7.000 nelayan.

Secara terpisah, Misbachul Munir, nelayan di Desa Nambangan, Kecamatan Bulak, Surabaya, Jawa Timur, mengemukakan, rencana reklamasi di pinggiran Selat Madura di Surabaya mengancam perkampungan dan area tangkapan nelayan. Hal itu karena wilayah reklamasi tepat berada di perkampungan nelayan. Menurut Munir, rencana reklamasi seluas 320 hektar itu akan memperlebar daratan sampai sejauh 1.800 meter dari pinggir pantai. Di perairan pinggiran itu, nelayan kecil selama ini biasa menangkap dengan jaring sero (jaring tanam) dan budidaya kerang.

Reklamasi pantai untuk wisata bahari itu akan menutup akses melaut nelayan. Padahal, wilayah itu menjadi andalan tangkapan nelayan dari Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Pasuruan. ”Warga tidak pernah diajak bicara mengenai reklamasi. Pertemuan dengan pemerintah hanya membahas rencana pemerintah untuk penanggulangan pantai, tetapi ternyata untuk reklamasi,” keluh Munir.

Abdul Halim menyatakan, proyek reklamasi harus ditinjau ulang dan dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan yang transparan jika pemerintah berniat melindungi warganya. Pembangunan yang menggusur pencarian nelayan tidak bedanya dengan memperburuk kemiskinan nelayan yang selama ini hidup termarjinalkan.

No comments:

Post a Comment