”Indonesia seharusnya bernegosiasi ulang dan meminta supaya berhenti untuk sementara. Mekanisme seperti itu sangat memungkinkan. Renegosiasi sangat penting karena negara pada kenyataannya tidak siap menghadapi ACFTA,” kata Direktur Eksekutif Institute for Global Justice Indah Suksmaningsih di Jakarta, Jumat (15/4).
Berdasarkan penelitian Institute for Global Justice (IGJ), penerapan ACFTA sejak tahun 2005 telah menimbulkan persoalan. Selama periode 2005-2010, total impor dari China meningkat sebesar 226,32 persen. Komposisinya berada pada level 20,32 persen dari total impor. Lonjakan impor membuat industri lokal kelimpungan.
Sepanjang tahun 2006-2008 tercatat 1.650 industri bangkrut karena tidak sanggup dengan serbuan produk China. Akibatnya, sebanyak 140.584 tenaga kerja terpaksa kehilangan pekerjaan. ”Pemerintah mau menunggu sampai kapan untuk renegosiasi ACFTA. Apakah harus menunggu semua industri bangkrut dulu,” katanya.
Indah mengatakan, agar renegosiasi berjalan mulus, harus ada sinergi antar-kementerian terkait. Mereka harus berkoordinasi untuk menentukan poin-poin renegosiasi. Sayangnya, di tingkat pemerintah tidak ada sinergi dalam menghadapi ACFTA. Ia mencontohkan Kementerian Perindustrian yang begitu getol menolak dan mendesak agar ACFTA ditinjau kembali, sementara Kementerian Perdagangan cenderung mengedepankan mekanisme protokol bilateral dalam menyelesaikan masalah.
”Momen pertemuan ASEAN 7-8 Mei mendatang di Jakarta seharusnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk renegosiasi. Pemerintah jangan hanya berpangku tangan dengan berbagai imbalan dari negara lain dalam bentuk utang sebagai bentuk kompensasi atas liberalisasi,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, pihaknya akan memanfaatkan momentum kunjungan Perdana Menteri China pada Mei mendatang untuk membahas ketimpangan perdagangan. Ia juga menegaskan renegosiasi kesepakatan ACFTA tidak diperlukan. Beberapa langkah yang seharusnya dilakukan, lanjutnya, adalah meningkatkan investasi dari China ke Indonesia, terutama sektor manufaktur dan permesinan; memperbaiki infrastruktur; meningkatkan hubungan bisnis; meningkatkan pembangunan kemampuan; dan kerja sama standar produksi.
Dari Makassar dilaporkan, industri kecil dan menengah dalam negeri terancam kolaps dengan derasnya produk China yang masuk. Mereka harus menekan biaya ongkos produksi dengan mengurangi tenaga kerja.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Sulawesi Selatan Zulkarnain Arief mengatakan, sektor industri kecil yang paling terpukul akibat produk impor China. ”Industri kecil bisa kolaps karena tidak mampu bersaing. Akhirnya mereka mengurangi tenaga kerja untuk mengurangi biaya produksi,” ujarnya.
Dari Surabaya, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Erlangga Satriagung mengatakan, produk impor dari China yang membanjir mulai 2008 diprediksi mendongkrak angka pengangguran di Jawa Timur. Salah satu upaya untuk menekan angka pengangguran, perdagangan harus tumbuh sehingga menyerap banyak pekerja.
No comments:
Post a Comment