Menurut Sutejo (45), salah seorang pedagang kaki lima berdagang jeruk ponkam sangat menguntungkan. Selain barangnya mudah didapat, jeruk tersebut juga disukai konsumen karena harganya lebih murah dibandingkan jeruk lokal, seperti jeruk Medan. Setiap 1 kilogram yang terjual, ia mendapatkan keuntungan sekitar Rp 4.000.
”Beda dengan jeruk lokal, jeruk ponkam asal China pasokannya ada terus, jadi tidak mengenal musim. Jeruk impor tersebut juga lebih tahan lama sehingga risiko pedagang tidak terlalu tinggi. Pasokan yang bisa diandalkan membuat kami bisa jualan terus. Kalau jeruk lokal susah, kadang ada kadang enggak,” paparnya, Senin (18/4). Bagi pedagang baru, pasokan dengan mudah dicari dengan mencari distributor melalui internet.
Saat ini semakin sulit menemukan buah-buahan lokal di pasaran. Di pasar tradisional dan pasar modern semuanya dijejali dengan buah impor. Bagi masyarakat, jeruk ponkam telah menjadi produk konsumsi harian. Buah tersebut menjadi sajian wajib saat orang menggelar hajatan atau menyaji tamu. Awal Maret lalu, saat Kompas diajak melakukan kunjungan survei pasar tradisional bersama Menteri Perdagangan di sejumlah daerah di Jawa Tengah, jeruk ponkam pun selalu hadir. Begitu tiba di rumah dinas bupati Purworejo, jeruk ponkam juga tersedia menyambut.
Jeruk berwarna oranye itu pun ditemui saat berada di rumah dinas Wali Kota Solo, rumah dinas Bupati Klaten, dan kalangan perajin baja di Ceper, Klaten. Jeruk ponkam bahkan menjadi sajian saat Menteri Perdagangan berkunjung langsung ke Pasar Cokro Kembang yang reyot, kumuh, dan becek. Padahal, sepanjang acara kunjungan, menteri selalu menyerukan agar mencintai produk dalam negeri. Ini sungguh ironis. Saat pemerintah gencar mengampanyekan gerakan mencintai produk lokal, masyarakat justru terlena dengan produk impor.
Jeruk ponkam hanyalah salah satu buah yang diimpor dari China. Masih ada jenis buah lainnya, seperti apel Fuji, dan pir Shandong. Sejak diberlakukan perdagangan bebas ASEAN-China, impor buah-buahan dari China terus melonjak.
Sepanjang tahun 2010, Kementerian Pertanian merilis defisit perdagangan buah-buahan mencapai 600 juta dollar AS. Padahal, tahun 2009, impor buah dari China baru mencapai 390 juta dollar AS.
Menurut Menteri Pertanian, Suswono perdagangan sektor hortikultura selalu defisit dengan China. Namun, kondisi tahun 2010 adalah terparah sepanjang sejarah. Jika tidak ada solusi konkret, kondisinya akan semakin parah.
Faktor harga menjadi kendala utama buah lokal untuk bisa bersaing dengan buah impor. Misalnya saja, jeruk Pontianak dijual seharga Rp 20.000. Sayangnya, tingginya harga tersebut juga tidak dinikmati petani. Harga yang tinggi itu lebih disebabkan membengkaknya biaya pengangkutan. Jeruk Pontianak di tingkat petani hanya dihargai Rp 3.000-Rp 4.000 per kilogram.
Adalah tugas pemerintah untuk menyediakan sarana infrastruktur yang memadai sehingga biaya pengangkutan bisa dipangkas. Tak hanya itu, kita juga menunggu realisasi konsep pasar tani, yang bertujuan mendekatkan sentra produksi dengan konsumen.
Inovasi teknologi buah-buahan juga perlu dibenahi supaya bisa menghasilkan buah dengan kualitas melebihi buah impor. Dari berbagai acara festival jeruk nasional, jenis jeruk keprok Indonesia, seperti keprok Batu 55, Garut, Soe, Berasitepu, Sioumpu, dan lainnya berpotensi dan berkemampuan bersaing dengan jeruk impor.
Tak hanya perbaikan aspek lokal, tetapi pemerintah juga harus memerhatikan aspek perlindungan. Desakan agar kesepakatan ACFTA ditinjau ulang sebaiknya dipertimbangkan. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah tetap bersikukuh akan menyelesaikan ketimpangan perdagangan dengan China, lewat protokol bilateral saja.
Apakah mekanisme tersebut bisa mereduksi serbuan jeruk ponkam? Kita lihat saja nanti.
No comments:
Post a Comment