Dewi menuturkan, berapa pun kenaikan harga gas elpiji, hal itu akan membebani masyarakat. Soalnya, situasi ekonomi yang diperkirakan masih sulit pada 2014 ini akan menjadi beban tersendiri. Ia juga menilai kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram ini harus diimbangi dengan penjelasan dan sosialisasi terhadap masyarakat agar tidak terjadi keributan. Selain itu, rasionalitas harga produksi juga harus diselaraskan dengan daya kondisi masyarakat saat ini.
“Pertamina harus transparan menjelaskan untung ruginya. Apa benar kenaikan karena ongkos produksi yang tinggi atau faktor manajemen yang kurang jeli," kata Dewi. Sebagai entitas bisnis, menurut dia, Pertamina memang berhak mengatur harga produk dan layanan kepada masyarakat. Namun, badan usaha milik negara ini juga harus melihat kemampuan dan kondisi psikologis penerimaan rakyat terhadap harga. Kebijakan harga oleh Pertamina sebagai BUMN harus melihat variabel-variabel lain di luar komersial.
Sebelumnya, juru bicara PT Pertamina Ali Mundakir memastikan bahwa kenaikan harga elpiji 12 kilogram dari harga resmi awalnya 70,2 ribu rupiah menjadi 117,7 ribu rupiah dinilai tidak memberatkan masyarakat. Hal ini karena masyarakat yang biasa menggunakan elpiji 12 kilogram adalah kalangan mampu dan digunakan dalam jangka waktu 1 sampai 1,5 bulan.
Juru Bicara PT Pertamina (Persero), Ali Mundakir mengatakan bahwa per 1 Januari 2014, lembaganya akan menaikkan harga elpiji non subsidi 12 kilogram dari harga awal yaitu Rp 70,2 ribu rupiah menjadi 117,7 ribu rupiah. Kenaikan ini menurut Ali bervariasi tergantung dari jarak dari SPBBE ke titik serah atau supply poin.
"Kenaikan harga elpiji non subsidi 12 kilogram sebesar 47,5 ribu rupiah ini disebabkan karena tingginya harga pokok LPG di pasar dan turunnya nilai tukar rupiah yang menyebabkan kerugian perusahaan semakin besar," ujar Ali ketika dihubungi Tempo, Rabu, 1 Januari 2014. Ali mengatakan harga elpiji 12 kilogram yang berlaku saat ini merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp5.850 per kg, harga pokok perolehan kini, menurut Ali telah mencapai Rp10.785 per kg. Dengan kondisi ini, dalam 6 tahun terakhir Pertamina telah menanggung selisihnya kerugian sebesar Rp22 triliun.
"Kondisi ini tentunya tidak sehat secara korporasi karena tidak mendukung Pertamina dalam menjamin keberlangsungan pasokan elpiji kepada masyarakat," ujar Ali. Keputusan inim menurut Ali merupakan tindak lanjut atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan RI dalam laporan hasil pemeriksaan pada bulan Februari 2013, di mana Pertamina menanggung kerugian atas bisnis Elpiji non subsidi selama tahun 2011 sampai dengan Oktober 2012 sebesar Rp7,73 triliun, yang hal itu dapat dianggap menyebabkan kerugian negara.
Selain itu, sesuai dengan Permen ESDM No. 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas pasal 25, maka Pertamina telah melaporkan kebijakan perubahan harga ini kepada Menteri ESDM. PT Pertamina (persero) akan memperketat penyaluran elpiji bersubsidi 3 kilogram setelahmenaikkan harga jual elpiji nonsubsidi kemasan 12 kilogram.
Menurut juru bicara Pertamina, Ali Mundakir, hal ini dilakukan setelah muncul kekhawatiran kenaikan harga elpiji nonsubsidi memicu migrasi konsumen ke elpiji bersubsidi. "Pertamina saat ini telah mengembangkan sistem monitoring elpiji 3 kilogram atau SIMOL3K," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu 1 Januari 2014.
Ali mengatakan, SIMOL3K diterapkan secara bertahap di seluruh Indonesia mulai Desember 2013. Dengan adanya sistem ini, Pertamina bisa memonitor penyaluran elpiji 3 kilogram hingga ke tingkat pangkalan berdasarkan alokasi daerahnya. Meski punya sistem baru, Ali berharap pemerintah mendukung pengawasan konsumsi elpiji 3 kilogram melalui penerapan sistem distribusi tertutup. "Serta menerbitkan ketentuan yang membatasi segmen konsumen yang berhak menggunakan elpiji 3 kilogram," ujarnya.
Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsidi sebesar Rp 3.959 per kilogram di seluruh Indonesia mulai 1 Januari 2014 pukul 00.00. Ali mengatakan, kenaikan harga akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point). Keputusan ini merupakan tindak lanjut atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan hasil pemeriksaan pada Februari 2013, yang menyatakan bahwa Pertamina menanggung kerugian atas bisnis elpiji nonsubsidi sebesar Rp 7,73 triliun pada 2011-Oktober 2012. Pertamina juga telah melaporkan perubahan harga ini kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Meski sudah menaikkan harga, Pertamina mengklaim masih memperoleh kerugian dari elpiji nonsubsidi sebesar Rp 2.100 per kilogram. Juru bicara PT Pertamina (Persero), Ali Mundakir, mengatakan kenaikan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram terpaksa dilakukan lantaran perseroan terus merugi. Akibat jual rugi elpiji nonsubisidi, dalam enam tahun, Pertamina telah mengalami kerugian Rp 22 triliun.
Menurut Ali, harga yang berlaku saat ini merupakan ketetapan pada Oktober 2009, yaitu sebesar Rp 5.850 per kilogram. Sedangkan harga pokok perolehan kini membengkak hingga Rp 10.785 per kilogram. Dengan kondisi ini, Pertamina melakukan jual rugi. “Kondisi ini tentunya tidak sehat secara korporasi," kata Ali dalam keterangan tertulis, Rabu, 1 Januari 2013.
Data Pertamina menyebutkan, pada 2013, konsumsi elpiji 12 kilogram mencapai 977 ribu ton. Di sisi lain, harga pokok perolehan elpiji rata-rata meningkat menjadi US$ 873 setelah nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika. Menurut Ali, kondisi ini menyebabkan Pertamina merugi lebih dari Rp 5,7 triliun sepanjang 2013. Kerugian tersebut timbul sebagai akibat dari harga jual 12 kilogram yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan.
Dengan demikian, Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsidi sebesar Rp 3.959 per kilogram di seluruh Indonesia mulai 1 Januari 2014 pukul 00.00. Ali mengatakan, kenaikan harga akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point). Meski tekah menaikkan harga, Pertamina mengklaim masih menjual rugi sebesar Rp 2.100 per kilogram.
Keputusan ini merupakan tindak lanjut atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan hasil pemeriksaan pada Februari 2013, yang menyatakan bahwa Pertamina menanggung kerugian atas bisnis elpiji nonsubsidi sebesar Rp 7,73 triliun pada 2011-Oktober 2012. Pertamina juga telah melaporkan perubahan harga ini kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
No comments:
Post a Comment