Thursday, January 30, 2014

Isi Surat Edaran Bank Indonesia Mengenai Swap dan Hedging

Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran terkait transaksi swap lindung nilai (hedging). "Penyediaan instrumen swap hedging bagi pelaku pasar domestik oleh BI ini merupakan upaya untuk memperdalam pasar valas domestik dimana instrumen swap jangka menengah-panjang masih terbatas. Hal ini ditujukan untuk meminimalkan risiko nilai tukar dan meningkatkan kegiatan investasi di Indonesia," tulis BI, Kamis (30/1/2014)

Dalam surat edaran (SE) yang bernomor 16/2/DPM Perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia itu, salah satunya menyebutkan nilai minimal hedging yang bisa diajukan kepada BI sebesar 10 juta dollar AS.

Selain itu, harus ada underlying atau jaminan yang harus diserahkan kepada Bank Indonesia saat mengajukan hedging. Jika yang mengajukan lindung nilai adalah bank, syarat yang harus dipenuhi adalah berupa pinjaman luar negeri bank dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang.

Sementara itu bagi nasabah, underlying transaksi bisa pinjaman luar negeri dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang, investasi langsung, devisa hasil ekspor, investasi pada infrastruktur pembangunan sarana umum dan produksi, investasi pada obligasi pemerintah RI serta investasi kegiatan ekonomi lainnya.

"Dokumen underlying diterima oleh Bank Indonesia dari nasabah paling lambat 1 bulan setelah tanggal transaksi swap lindung nilai kepada Bank Indonesia," tulis BI. BI menambahkan, jika dokumen yang menjadi underlying hedging adalah proyek pemerintah, dokumen tersebut harus mendapat epersetujuan proyek dari instansi yang berwenang.

"Sementara, jika pemilik proyek adalah swasta, dokumen underlying harus mendapatkan persetujuan dari perusahaan pemilik proyek," tulis BI. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menegaskan, pengetatan aturan lindung nilai (hedging) kepada bank dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.15/8/PBI/2013 demi menjaga stabilitas rupiah. "BI itu intinya menjaga stabilitas dan kita lihat bahwa konsen utama dari pasar adalah current account dan inflasi. Itu sudah di-address oleh BI dengan sedikit melakukan pengetatan yang tentunya bisa memperbaiki current account deficit," kata Mirza di Kantor Pusat BI, Jumat (11/10/2013). 

Mirza mengatakan, aturan pengetatan lindung nilai kepada bank yang tertuang dalam PBI tersebut antara lain untuk memberi payung hukum bagi BUMN yang masih ragu melakukan lindung nilai. "Kenapa PBI diterbitkan? Untuk memberikan payung hukum bagi korporasi BUMN yang masih ragu untuk melakukan hedging," ujarnya.  Aturan lindung nilai, menurut Mirza, sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ia memberi penjelasan mengenai mekanisme instrumen swap.

"Swap itu misalnya ada korporasi punya utang dollar AS. Kalau misalnya pada waktu situasi rupiah sedang goyang dan dia ingin dapat suatu kepastian, maka dia membeli swap. Supaya kira-kira dia dapat kurs untuk pembayaran atau transaksi 1 bulan ke depan. Atau importir, dia kan ada jatuh tempo pembayaran impor, dia beli, dia swap, dia hedging supaya dapat kepastian kursnya berapa. Itu bukan instrumen baru," jelasnya.

Seperti diberitakan, BI pada 7 Oktober 2013 menerbitkan PBI No.15/8/PBI/2013 tentang transaksi lindung nilai kepada bank. Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah, PBI lindung nilai adalah rumusan kebijakan untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.

Aturan tersebut juga untuk mendukung pasar keuangan yang sehat, terutama pasar valuta asing domestik. Para pelaku ekonomi harus melakukan transaksi lindung nilai atas kegiatan ekonominya dengan menggunakan instrumen forward dan swap. Nilai tukar rupiah yang melemah tajam tahun ini cukup mempengaruhi posisi utang Indonesia. Melihat gejala itu, Badan Anggaran DPR, akhirnya, menyetujui rencana pemerintah untuk memberlakukan skema lindung nilai alias hedging atas pembayaran bunga utang negara kita.

Lampu hijau dari dewan ini tertuang dalam Pasal 28 Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2014. Jadi, pemerintah bisa melakukan hedging dalam rangka pengendalian risiko pembayaran bunga utang.

Menurut Ahmadi Noor Supit, Ketua Badan Anggaran DPR, wakil rakyat merestui rencana pemerintah itu lantaran skema hedging memang dibutuhkan, terlebih di tengah kondisi perekonomian dalam negeri dan global yang tidak menentu seperti saat ini dan diprediksi tahun depan juga belum ada perbaikan. "Kami setuju karena untuk melindungi ketidakpastian dan menghindarkan risiko ekonomi yang lebih buruk," kata dia akhir pekan lalu.

Meski begitu, Dolfie O.F.P., anggota Badan Anggaran dari Fraksi PDI Perjuangan mengkritisi rencana hedging tersebut karena pemerintah tidak mencantumkan dana yang mereka anggarkan untuk melakukan lindung nilai.

Sementara Direktur Strategis dan Portfolio Utang Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan menjelaskan, pemerintah memang belum bisa menetapkan nilai uang yang disiapkan untuk melakukan hedging atas pembayaran bunga utang. Sebab, angkanya sangat tergantung kepada kesepakatan yang dibuat dengan bank yang menjadi mitra pemerintah.

Hingga saat ini, pemerintah sedang melakukan pembicaraan dengan sejumlah bank, baik dalam negeri maupun luar negeri. Hanya, banyak bank yang ternyata tidak memiliki kecukupan modal terutama perbankan lokal. "Sudah ada bank asing yang mengaku siap, namun kami sedang menghitung-hitung lagi," ujar Schneider. Sayang, dia masih tutup mulut dan enggan mengungkapkan identitas bank asing itu.

Selain masalah kecukupan modal untuk melakukan hedging, masalah lain yang menganjal perbankan untuk bekerjasama dengan pemerintah adalah tingginya beban bunga utang pemerintah. Menurut Schneider, meski hanya 5 persen dari total utang pemerintah, nilainya tetap besar. Maklum, utang pemerintah, mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun.

Yang pasti, Schneider menambahkan, aturan main lebih rinci soalhedging atas pembayaran bunga utang pemerintah akan termaktub dalam dalam sebuah peraturanmenteri keuangan (PMK). Catatan saja, di RAPBN 2014, beban bunga utang pemerintah tercatat Rp 119,5 triliun.

No comments:

Post a Comment