DKI Jakarta menjadi kota dengan biaya hidup termahal se-Indonesia. Biaya hidup di Ibu Kota pada 2012 dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga 4,1 orang adalah sebesar Rp 7.500.726/bulan. Biaya hidup tersebut jauh di atas rata-rata biaya hidup secara nasional sebesar Rp 5.580.037/bulan.
Demikian hasil survei biaya hidup yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 82 kota. Menurut hasil survei, biaya hidup di DKI Jakarta merupakan yang termahal, mengalahkan Jayapura yang berada di urutan kedua, Ternate, Depok, dan Batam.
Biaya hidup di Jayapura adalah sebesar Rp 6.939.057 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 4,5. Ternate sebesar Rp 6.427.357 (4,8 anggota keluarga), dan Depok Rp 6.330.690 (4,1 anggota keluarga).
Kota lainnya adalah Makassar di posisi keenam termahal, dengan biaya hidup sebesar Rp 6.269.296 (5,2 anggota keluarga), Banda Aceh Rp 6.169.359 (4,3 anggota keluarga), Surabaya Rp 6.059.488 (4,1 anggota keluarga), Pekanbaru Rp 5.808.376 (4,4 anggota keluarga), dan Makassar Rp 5.774.957 (4,6 anggota keluarga).
Dalam lima tahun terakhir (2007-2012), biaya hidup di DKI Jakarta naik 48,49% dari Rp 5.051.251 pada 2007. DKI Jakarta tidak masuk 10 kota dengan kenaikan biaya hidup tertinggi dalam kurun waktu tersebut. Pasalnya, kota dengan kenaikan biaya hidup tertinggi dialami Purwokerto, yang naik 96,35% dari Rp 2.082.585 menjadi Rp 4.089.099.
Posisi kedua ditempati Banjarmasin, yang naik 95,75%, Gorontalo 94,88%, Semarang 85,38%, Bekasi 82,45%, Palangkaraya 81,63%, Bandung 78,16%, Watampone 78,12%, Tarakan 77,85%, dan Bogor 77,54%.
Biaya hidup di Bekasi naik dari Rp 3.162.931 menjadi Rp 5.770.710. Di Bandung, biaya hidup naik dari Rp 3.160.267 menjadi Rp 5.630.382 dan di Bogor, biaya hidupnya naik dari Rp 2.519.124 menjadi Rp 4.472.464. Sedangkan Banyuwangi menjadi kota dengan biaya hidup terendah, yakni Rp 3.029.367/bulan, dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga 3,6.
Dari biaya hidup secara nasional sebesar Rp 5.580.037/bulan, porsi nonmakanan sebesar 64,96% dan untuk makanan 35,04%. Angka ini berubah dari kondisi 2007, di mana porsi nonmakanan masih 63,88% dan makanan 36,12%.
Khusus Jakarta, Ibukota ini menempati urutan pertama kota dengan proporsi biaya hidup makanan terendah, yakni sebesar 28,43%. Artinya, biaya hidup di Ibu Kota lebih banyak habis untuk nonmakanan yang menyerap porsi 71,57%.
Adapun secara nasional, pengeluaran rumah tangga banyak dihabiskan untuk kelompok pengeluaran biaya perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 25,37%. Disusul kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 19,15%, bahan makanan 18,85%, dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 16,19%.
Suryamin menyebutkan, proporsi biaya hidup makanan dan non-makanan masing-masing sebesar 35,04 persen dan 64,96 persen. Hasil tersebut tak jauh berbeda dibanding hasil survei pada 2007, di mana proporsi biaya hidup makanan dan non-makanan sebesar 36,12 persen dan 63,88 persen.
"Meulaboh merupakan kota dengan proporsi biaya hidup makanan tertinggi sedangkan Jakarta merupakan kota dengan proporsi biaya hidup makanan terendah," ujarnya.
Menurut Suryamin, dibandingkan dengan hasil survei 2007, terjadi penurunan persentase biaya hidup kelompok bahan makanan dari 19,57 persen menjadi 18,85 persen. Biaya kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau menurun dari 16,55 persen menjadi 16,19 persen. Sedangkan biaya perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar menurun dari 25,41 persen menjadi 25,37 persen.
Survei biaya hidup ini dilaksanakan di 82 kota, terdiri dari 33 Ibu kota provinsi, serta 49 kota/kabupaten. Total sampel rumah tangga yang diteliti sebanyak 136.080. Suryamin menyatakan, data 2012 akan menjadi acuan inflasi atau deflasi pada periode selanjutnya. "Pembaruan ini memang selalu kita lakukan setiap lima tahun, supaya data inflasi lebih akurat," ucapnya.
No comments:
Post a Comment