Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri mengatakan, nilai tukar rupiah saat ini sudah memasuki era ekuilibrium baru. Menurut dia, pengurangan stimulus moneter telah mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia sebelum Amerika menggelontorkan stimulus moneternya. “Mungkin ini harus dilihat dalam konteks lebih panjang. Jadi, bagaimana cara memandang dunia tanpa quantitative easing,”kata Chatib saat ditemui di kantornya, Rabu, 8 Januari 2014.
Menurut Chatib, saat Amerika belum menggelontorkan stimulus moneternya pada 2009, nilai tukar rupiah bertengger di angka Rp 12.000 per dolar AS. Angka yang sama juga terjadi pada saat ini, ketika Amerika melakukan tapering off.Begitu pun dengan yield bond, yang saat itu berada di angka 9 persen. Ia menjelaskan, yield goverment bond Amerika sebelum quantitative easing sebesar 3,5 persen atau sama dengan saat ini. Yield bond Indonesia juga untuk tenor 10 tahun dulu di atas 9 persen dan tak berubah hingga kini. “Begitu pun rupiah Rp 12.000 per dolar AS. Jadi, saya lihat sudah ekuilibrium baru,” katanya.
Chatib mengatakan, pemerintah dan Bank Indonesia harus menjaga keseimbangan nilai tukar rupiah yang sudah memasuki ekuilibrium baru tersebut. “Harus dijaga, karena ada risiko overshoot,” katanya. Salah satu faktor yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah adalah defisit transaksi berjalan.
Menurut dia, neraca transaksi berjalan kemungkinan akan membaik seiring perbaikan neraca perdagangan. Chatib mengaku optimistis neraca perdagangan pada Desember 2013 akan kembali surplus, dan perbaikan juga akan terjadi pada tahun ini. “Tiga bulan terakhir neraca perdagangan surplus, Desember juga hitungan kami surplus. Ini akan membuat current account deficit (defisit transaksi berjalan) membaik. Kemarin, Pak Agus (Gubernur BI) mengatakan, di akhir tahun 2013, defisit transaksi berjalan 3 persen,” ujar dia.
Kurs rupiah diperkirakan akan melemah menyusul minimnya kabar positif dari dalam dan luar negeri. Ekonom dari PT Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta, mengatakan pekan ini tekanan rupiah masih tinggi. "Kombinasi antara inflasi yang belum turun drastis dan tren naik tingkat imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat diyakini sebagai penyebabnya," ujar dia dalam riset mingguan yang diterima Tempo.
Tingkat inflasi sampai akhir Desember kemarin diumumkan jauh di bawah harapan sebesar 8,38 persen year-on-year. Sementara neraca perdagangan bulan November, meski surplus, tetap jauh di bawah ekspektasi pasar. "Menguat hanya tipis, sentimen negatif di pasar global menghambat laju rupiah untuk menguat tajam," kata Rangga melanjutkan.
Sepanjang pekan lalu, tekanan terhadap rupiah bertambah dengan selisih kurs non deliverable forward satu bulan yang merangkak naik ke kisaran 12.200 per dolar AS. Menurut Rangga, konsentrasi pasar masih terfokus pada rencana pemangkasan stimulus (tapering) yang akan dikurangi pada Januari ini. "Ekspektasi tersebut mendorong penguatan dolar secara global, sehingga mayoritas mata uang melemah."
Data ekonomi Cina menunjukkan hal yang sebaliknya. Data manufaktur melambat dari 50,9 ke 50,5. Sementara di Indonesia, walaupun pelemahan masih menghantui pergerakan harga aset keuangan, data fundamental perekonomian menunjukkan perbaikan tipis. Tekanan jual diperkirakan sedikit memudar pada pekan ini meski aksi beli hebat sepertinya belum akan muncul. Pasar akan menunggu dua data penting minggu ini, yaitu pengumuman BI Rate pada 9 Januari dan tingkat pengangguran AS pada 10 Januari.
Rangga memperkirakan, dengan tingkat imbal hasil yang terdorong cukup hebat, peluang dinaikkannya BI Rate menjadi semakin besar. Sementara itu, survei Bloombergmemperkirakan data pengangguran AS akan bertahan di level 7 persen. "Bila data pengangguran yang muncul lebih rendah, sentimen tapering yang lebih besar dipastikan kembali merekah."
Kepala Riset Trust Securities Reza Priyambada memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp 12.200 per dolar Amerika Serikat. Pelaku pasar menantikan hasil rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia soal suku bunga acuan (BI Rate) yang akan diputuskan siang ini. "Kemungkinan BI akan mencari aman dengan mempertahankan suku bunga. Kalaupun naik, paling 25 basis point," kata Reza, Kamis, 9 Januari 2014.
Namun, penguatan rupiah terbatas karena laju dolar Amerika Serikat dapat lebih tinggi. Selain itu, rebound yang dialami pasar saham Asia mendorong asing untuk kembali masuk dan menukarkan dolarnya ke pasar sehingga ada tambahan likuiditas. Dalam perdagangan kemarin, Rabu, 8 Januari 2014, rupiah diperdagangkan pada level Rp 12.229 per dolar Amerika. Rupiah menguat jika dibandingkan dengan perdagangan Selasa lalu yaitu Rp 12.262 per dolar Amerika. Tekanan rupiah sedikit mengendur setelah mata uang regional dan beberapa mata uang Asia berbalik menguat terhadap dolar Amerika.
No comments:
Post a Comment