Tak dimungkiri, perkembangan kota Jakarta begitu pesat dan dinamis. Hal ini ditandai dengan masifnya pembangunan sektor properti berbagai jenis yang sudah merambah wilayah-wilayah non-bisnis.
Jika selama satu hingga dua dekade silam, pertumbuhan terkonsentrasi di wilayah "tradisional" yang termasuk dalam kawasan segitiga emas (golden triangle) yakni koridor Thamrin-Sudirman-Kuningan, maka dalam beberapa tahun terakhir, penetrasi pertumbuhan yang semakin meluas.
Jakarta Barat, dan Jakarta Timur adalah dua kawasan yang sedang menggeliat. Harga lahan dan properti terus merangkak hingga menembus dua digit (puluhan juta Rupiah) untuk Jakarta Barat dan belasan juta Rupiah untuk Jakarta Timur.
Hanya, pertumbuhan Jakarta Barat dan Jakarta Timur seharusnya bisa melampaui pencapaian saat ini. Pasalnya, di kedua kawasan ini terdapat zona yang dirancang khusus sebagai sentra pertumbuhan ekonomi, yakni Sentra Primer Baru Barat (SPBB) dan Sentra Primer Baru Timur (SPBT). Bahkan, pembentukan SPBB dan SPBT didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor 1629 Tahun 1986 tentang Penguasaan Perencanaan untuk Pelaksanaan Pembangunan Kawasan.
SPBB mencakup area seluas 135 hektar di kawasan Kembangan, Jakarta Barat, di mana 57,07 hektar di antaranya diakuisisi oleh PT Antilope Madju Puri Indah, dan 15 hektar oleh PT Lippo Karawaci Tbk., separuh konsesi sisanya dimiliki oleh pengembang lainnya.
Sementara SPBT mencakup area seluas 96 hektar di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Perum Perumnas menguasai mayoritas konsesi seluas 44 hektar. Seluas 52 hektar lainnya milik warga Pulogebang dan juga pengembang lain.
Lippo Karawaci dan Antilope Madju Puri Indah telah menjadi katalis bagi eksistensi SPBB dengan mega proyek mereka St Moritz Penthouses & Residences dan Puri Indah Town Center. Di sini, Lippo bakal mengonversi 15 Ha lahan yang dibelinya dari Antilope Madju tahun 2005 lalu, menjadi sebuah global city yang mengintegrasikan sebelas fasilitas. Mencakup 17 gedung pencakar langit. Sementara Puri Indah Town Center menghimpun sebanyak 7 menara perkantoran, 7 menara apartemen, 1 menara hotel bintang lima dan pusat belanja.
Di wilayah timur, PT Bakrieland Development Tbk yang berkolaborasi dengan Perum Perumnas dalam usaha patungan atas nama PT Bakrie Pangripta Loka, secara sadar memberanikan diri menjadi "martir" dengan megaproyek Sentra Timur senilai Rp 1,1 triliun. Proyek ini menempati area 7,9 hektar dan berada di kompleks Kota Baru Perumnas.
Masuk akal jika Bakrieland Development berani bertaruh, kalau tidak bisa dibilang nekad. Sebab, kawasan timur, khususnya kecamatan Pulo Gebang sebagai cakupan administratif Kota Baru Perumnas, dalam kondisi aktual sekarang tertinggal jauh di belakang SPBB. Aksesibilitas yang terbatas dan infrastrukturnya belum dapat dikatakan mendukung. Akibatnya lingkungan pun tidak terbentuk sebagaimana mestinya.
Seperti diungkapkan Direktur Perumnas, Himawan Arief Sugoto, kepada Kompas.com, Sabtu (8/2/2014). Menurutnya, SPBT terkendala infrastruktur dan aksesibilitas. Terbangunnya Terminal Modern Terpadu Sentra Timur Pulogebang, masih belum bisa dimanfaatkan maksimal karena infrastruktur jalan menuju terminal ini, sedang dikerjakan.
"Jadi, wajar bila perkembangan dan pertumbuhan SPBT kalah jauh ketimbang SPBB. SPBB memiliki aksesibilitas dan kondisi infrastruktur eksisting, terbilang memadai dengan kondisi sangat baik. Namun, kami akan mengejar ketinggalan itu dengan membangun berbagai fitur penarik investasi, seperti apartemen dan perumahan serta pusat-pusat komersial," ujar Himawan.
Selain dengan Bakrieland Development, Perumnas juga membuka opsi kerjasama dengan pengembang lainnya, untuk bersama membangun SPBT.
Residensial jadi basis pertumbuhan
Jika SPBB diproyeksikan menjadi pusat bisnis dan komersial baru yang berbasis residensial berpenghuni kelas menengah ke atas, maka SPBT cukup menjadi kawasan bisnis dan pergudangan yang mendasarkan pada residensial menengah ke bawah. Dengan karakter berbeda ini, perkembangannya pun berbeda pula.
Ini tak lepas dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang membentuknya. SPBB yang lebih dulu berkembang adalah residensialnya. Perumahan macam Permata Buana, Permata Hijau, dan Puri Indah dihuni oleh kalangan berstatus sosial dan ekonomi mapan. Sehingga karakter properti yang muncul kemudian, menyesuaikan diri terhadapnya.
Coldwell Banker Indonesia pernah mengeluarkan analisa yang menunjukkan bahwa properti komersial yang dibangun pun akhirnya memang mengikuti kebutuhan para penghuni perumahan-perumahan di sana. Seperti pusat belanja keluarga dan perkantoran berbasis jasa dan perdagangan.
Kejenuhan sentra primer Jakarta seperti CBD Sudirman-Thamrin-Kuningan serta semakin berkurangnya ketersediaan lahan memberikan prospek yang baik bagi pengembangan komersial SPBB. Harga lahan di SPBB sudah menyentuh level Rp 22 juta-Rp 25 juta per meter persegi. Sedangkan harga properti terendah berada pada posisi Rp 27 juta per meter persegi.
Sementara SPBT dirancang sebagai pusat bisnis yang berkaki industri. Perkembangan industri di wilayah Cakung, Cilincing, dan Bekasi semestinya memberikan prospek yang baik bagi perkembangan SPBT. Maka properti yang mengikutinya mendukung sifat industri tersebut. Perumahan-perumahan yang dibangun, contohnya, merupakan perumahan sederhana yang disesuaikan dengan profil pekerja industri yang tidak membutuhkan kelengkapan fasilitas stylish. Begitupula dengan properti komersialnya, mengikuti kemauan pasar dengan karakter marjinal.
Harga tanahnya relatif lebih kompetitif, berkisar Rp 7 juta hingga Rp 12 juta per meter persegi. Harga properti terendah yakni, apartemen di Sentra Primer Timur menembus angka Rp 300 jutaan per unit untuk tipe studio.
Direktur Utama Bakrie Pangripta Loka, Dicky Setiawan, pihaknya memang menargetkan pasar dengan segmen menengah bawah. Karena, menurutnya, segmen inilah yang ceruk pasarnya besar dan sangat membutuhkan hunian.
"Kami membangun sesuai dengan kebutuhan pasar. Terbukti dari sekitar 90 persen dari total 2.200 unit yang sudah terjual, telah dihuni oleh end user, sementara investor hanya mengambil porsi 30 sampai 40 persen," ujar Dicky.
No comments:
Post a Comment