Bukan hanya PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) saja perusahaan BUMN yang terlilit utang pemerintah. PT Dirgantara Indonesia (Persero) pun pernah berutang tak kurang dari Rp 3,8 triliun. Kini, salah satu produsen alutsista tersebut berhasil bangkit. Direktur Komersial dan Restrukturisasi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) Budiman Saleh berbagi cerita bagaimana PT DI bisa bangkit dari keterpurukan.
Dalam sebuah temu wicara dengan wartawan di Bandung, Jumat (14/2/2014), Budiman mengatakan, meski sama-sama kolaps, PT DI masih memiliki kontrak dan cashflow positif. Ia pun menegaskan, kondisi PT DI berbeda jauh ketimbang Merpati. "Jauh banget bedanya dengan Merpati. Waktu saya jadi Direktur Keuangan, satu yang saya mau, kita petain utang ke pemerintah, dan pihak ketiga, dan utang yang enggak tentu. Utang kita ke pihak ketiga itu kecil, tidak seperti Merpati," terang Budiman.
Utang yang besar ke pemerintah berawal sejak kebobrokan manajemen gaya Habibie yang salah urus perusahaan tersebut. Ketika itu pemerintah memberikan utang, tetapi tidak jelas kapan harus mengembalikan, dan berapa cicilannya. "Waktu Bu Anny (Wakil Menteri Keuangan periode 2010) bilang, semua yang diinjeksi harus jelas pengembaliannya, jangan jadi pinjaman 'skeleton', kita langsung buka, diaudit BPK," kata Budiman.
Mulai 2011, PT DI melakukan program restrukturisasi. Karena masih memiliki kontrak, pemerintah pun percaya untuk mengucurkan dana restrukturisasi dan revitalisasi (RR) sebesar Rp 675 miliar untuk menjalankan kontrak. Pemerintah kembali memberikan kepercayaan kepada PT DI dengan menanamkan modal negara, meskipun tidak semua dari yang diminta PT DI. PT DI meminta PMN sebesar Rp 2,06 triliun, tetapi pemerintah menyetujui Rp 1,4 triliun. Rp 1 triliun diberikan pada November 2012 dan Rp 400 miliar diberikan pada Desember 2012.
"Selain program ini (kontrak), Kemenkeu, BUMN, dan DPR masih percaya karena banyak industri raksasa dunia yang masih dependsama PT DI," tukas Budiman. Sebagai informasi, PT DI telah menjadi penyedia komponen untuk Boeing, Airbus, Eurocopter, dan bahkan untuk EADS (Perancis) sebagai penyuplai tunggal.
Perlahan-lahan PT Dirgantara Indonesia (Persero) kembali bangkit dari keterpurukan. Setelah mendapatkan suntikan berupa penyertaan modal negara pada 2012 sebesar Rp 1,4 triliun, tahun 2013 PTDI berhasil mencetak laba sebesar Rp 10,272 miliar. Direktur Komersial dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh bahkan optimistis pada tahun ini PTDI mampu mengerek laba hingga 548 persen menjadi Rp 66,546 miliar.
Dalam temu wicara dengan wartawan di Bandung, Jumat (14/2/2014), ia menjelaskan, untuk mencapai target pertumbuhan laba tersebut, PTDI akan memfokuskan bisnisnya pada pasar alat utama sistem persenjataan atau alutsista yakni sebesar 80 persen. Meski demikian, untuk pesawat terbang ia menegaskan PTDI juga semakin menguatkan pasar komersial.
PTDI melakukan re-entry beberapa pasar tradisional seperti Korea, Thailand, dan Malaysia. Sementara itu, pasar barunya yang berhasil dipenetrasi adalah Filipina. "Tahun 2014 harus masuk komersial. Karena di Asia Pasifik yang paling dominan helikopter di Indonesia, mengalahkan Australia," terang Budiman.
Ia menambahkan, torpedo dan rocket tetap hanya dipasarkan di dalam negeri, di samping CN212 dan CN235. Budiman memaparkan, kontrak baru 2014 tercatat Rp 5,3 triliun, sementara confirmed book sales 2013 (masuk RKAP 2014) sebesar Rp 7,3 triliun. Penjualan 2014 ditargetkan mencapai Rp 4,8 triliun.
Untuk perbandingan, pada 2013 lalu, kontrak baru PTDI sebesar Rp 4,6 triliun, sementara confirmed book sales 2012 (masuk RKAP 2013) sebesar Rp 6,1 triliun. Adapun realisasi penjualan sebesar Rp 3,5 triliun, dengan laba Rp 10,272 miliar.
Industri pesawat terbang dalam negeri masih harus mengimpor bahan baku dari negara-negara seperti Amerika Serikat, dan Eropa. Direktur Komersial dan Restrukturisasi PT Dirgantara Indonesia, Budiman Saleh mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan metal, industri dalam negeri seperti PT Inalum tidak memproduksi aluminium aloy yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pesawat dan juga alut sista.
"Industri karet di Indonesia juga bagus tapi yang diuji dan tersertifikasi untuk komponen pesawat belum ada. Jadi praktis 100 persen impor," kata dia di kantor PT DI, Bandung, Jumat (14/2/2014). Lebih lanjut ia menjelaskan, komponen bahan baku impor tersebut 60 persen dari nilai kontrak. Untuk perbandingan, sepanjang 2013, kontrak PTDI tercatat Rp 10,8 triliun. Artinya, sepanjang tahun 2013 PTDI merogoh Rp 6,48 triliun.
Metal dan karet untuk keperluan ini masuk lewat kawasan berikat. Karenanya, bahan baku tidak dikenai bea masuk setelah pesawat pesanan luar negeri dikirimkan. Sementara itu untuk konsumen dalam negeri pun tergantung pemesannya. Pesanan dari Kementerian Pertahanan (Kemhan), juga TNI/Polri, bahan bakunya tidak dikenai bea masuk. Untuk swasta (commuter airlines) juga tidak dikenai bea masuk.
Sekadar informasi, sampai saat ini PTDI telah memproduksi 309 unit pesawat terbang, terdiri dari N235 (62 unit), CN212-110 dan CN212-400 (110 unit) BO125 (115), serta puma dan superpuma (22 unit). Untuk jenis Puma, PTDI tak lagi memproduksi. PT Dirgantara Indonesia (PT DI) telah melalui sejarah panjang pembangunan industri strategis di Indonesia.
Berawal pada 1953 didirikanlah Seksi Percobaan AURI, di mana 4 tahun kemudian berubah menjadi Sub Depot Pembuatan, Penelitian, dan Perkembangan di bawah Komando Depot Perawatan Teknik Udara yang dipimpin Mayor Nurtanio Pringgoadisurjo. Pada 1960, Sub Depot tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP), yang pada 1964 berubah menjadi KOPELAPIP.
Pada 1966, KOPELAPIP digabung dengan PN Industri Pesawat Terbang Berdikari menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (LIPNUR). Produksinya antara lain Sikumbang, Belalang 85/90, Kunang, Super Kunang, Gelatik/PZL Wilga, dan LT 200. Pada 23 Agustus 1976, didirikanlah PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, yang diresmikan oleh Presiden Soeharto. Program utama perusahaan ini memproduksi helikopter NBO105 (lisensi MBB Jerman) dan pesawat NC-212-200 (lisensi CASA Spanyol).
Sampai saat ini telah diproduksi 122 unit NBO105 dan 102 unit NC212-200, militer maupun sipil. Tapi, saat ini PT DI tak lagi memproduksi NBO105, sedangkan NC212-200 digantikan pesawat sejenis yang lebih maju yaitu NC212-400.
Pada 1984, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN). Setahun sebelumnya, tepatnya pada 30 Desember 1983, CN235 terbang untuk kali pertama. PT IPTN berubah menjadi PT Dirgantara Indonesia pada tahun 2000. Hingga saat ini, PT DI telah melakukan kerjasama baik suplai komponen maupun maintenance (MORA) dengan industri dirgantara dunia seperti Boeing, Airbus, serta Eurocopter.
No comments:
Post a Comment