Sunday, February 16, 2014

Strategi Kimia Farma Untuk Dapat Tumbuh 14 Persen Per Tahun

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar (sekitar 250 juta orang) ditambah kelas menengah yang terus tumbuh, adalah tempat yang baik untuk industri farmasi.  Meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah sejalan dengan peningkatan kesadaran kesehatan membuat permintaan untuk kualitas obat-obatan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik (seperti klinik kecantikan) yang kian meningkat.

Perhatian Pemerintah seperti yang dibuktikan dengan berlakunya program jaminan pemeliharaan kesehatan, yang dikenal sebagai SJSN pada 2014, memberikan kesempatan yang lebih baik untuk perusahaan farmasi, seperti KAEF untuk tumbuh.

"Hasilnya, kami melihat bahwa prospek KAEF dalam jangka panjang akan lebih menarik, dan membuat kami percaya bahwa pendapatan KAEF akan tumbuh dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) 14%," kata analis Pefindo Achmad Kurniawan Sudjatmiko dalam risetnya akhir pekan lalu.

Dengan semangat inovasi, saat ini KAEF memantapkan dirinya sebagai perusahaan farmasi terintegrasi yang aktif dalam pembuatan obat-obatan, penelitian dan pengembangan, farmasi ritel, klinik kesehatan, laboratorium klinik, perdagangan dan distribusi. "Kami berpandangan bahwa industri farmasi memiliki prospek yang sangat menjanjikan di masa datang," tuturnya.

Jumlah penduduk yang besar diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah (diproyeksikan menjadi 150 juta orang pada 2014) menyiratkan kebutuhan yang lebih besar dari produk farmasi yang berkualitas dan pelayanan kesehatan khususnya obat resep.  Belanja pemerintah untuk industri farmasi diperkirakan akan lebih tinggi pada 2014, karena dilaksanakannya sistem jaminan sosial nasional (atau Sistem Jaminan Sosial Nasional - SJSN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial - "BPJS".

Dengan program baru ini, industri farmasi di Indonesia akan semakin cerah, karena lebih banyak orang yang sudah di atas 65 berhak untuk menerima perawatan kesehatan, selama mereka adalah anggota dari BPJS. Sehingga, pasar farmasi Indonesia diperkirakan akan mencapai US$6,61 miliar pada 2014.

"Kami percaya bahwa KAEF bukan perusahaan farmasi biasa, karena mereka tidak hanya aktif dalam pembuatan obat-obatan, tetapi juga aktif dalam mendistribusikan obat-obatan Perusahaan atau pihak ketiga," imbuhnya.

Dengan sekitar 500 apotek yang tersebar di seluruh Indonesia, KAEF adalah pemimpin dalam pasar ritel farmasi di Indonesia. Dengan jaringan yang luas tersebut, banyak perusahaan farmasi mempercayai KAEF dalam mendistribusikan produk mereka. Hal ini dibuktikan dengan kontribusi yang tinggi dari penjualan obat-obatan pihak ketiga hingga sembilan bulan pertama 2013 (68%).

KAEF menghasilkan banyak obat-obatan melalui pabrik-pabriknya, termasuk di antaranya narkotika dan Antiretroviral (ARV) untuk obat-obatan. Dengan sistem manajemen mutu seperti dibuktikan dengan standar ISO 9001:2008 yang diterima, pabrik-pabrik KAEF di Jakarta dinilai oleh Pemerintah Indonesia sebagai satu-satunya pabarik yang dapat menghasilkan narkotika dan ARV.

Selain itu, pabrik KAEF di Watudakan, dikenal sebagai satu-satunya pabrik pengolahan tambang yodium di Indonesia. Pabrik ini memproduksi besi sulfat sebagai bahan utama dalam produksi tablet suplemen darah.

"Kami percaya masih ada ruang besar untuk tumbuh untuk produk ini, karena rasio utilisasi untuk ARV hanya 42% pada tahun 2012, dan KAEF baru saja menandatangani perjanjian dengan tiga perusahaan Jepang (Mitsui, Gohdo dan Kanto) untuk mengembangkan tambang yodium di Jombang dan Mojokerto, dalam rangka meningkatkan produksinya menjadi 500 ton per tahun," paparnya.

Dengan penerapan SJSN, Pefindo percaya permintaan untuk obat-obatan, terutama obat generik, akan semakin banyak. Hal ini dikarenakan sebagian besar obat yang digunakan dalam program ini adalah obat generik. Saat ini, kapasitas produksi KAEF untuk obat generik adalah 1,4 miliar lembar tablet dan 249,7 juta kapsul per tahun.

Selain itu, Pefindo juga percaya rencana KAEF untuk mendirikan 100 klinik lain pada 2014 adalah tepat, karena program SJSN tidak hanya untuk mengganti obat yang dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit, tetapi juga biaya untuk konsultasi dokter. Pada akhir tahun 2013, KAEF sudah memiliki sekitar 200 klinik di Indonesia.

Secara keseluruhan, kinerja KAEF terus menunjukkan tren membaik. Dari Rp6,3 triliun pendapatan tahun 2010, pendapatan KAEF membaik menjadi Rp7,3 triliun pada 2012. Hal ini terus berlanjut di 9M13 dimana pendapatannya mencapai Rp5,5 triliun, lebih baik dari 9M12 yaitu Rp5,4 triliun.

Kinerja tersebut berkaitan dengan penjualan KAEF untuk pasar domestik, yang juga menunjukkan kinerja yang membaik dari Rp3,1 triliun di 2010 menjadi Rp3,6 triliun pada 2012, dan pada 9M13 terus tumbuh sebesar 2% YoY.

Sementara itu, penjualan KAEF untuk pasar luar negeri menunjukkan tren yang turun-naik. Dari Rp51,8 miliar pendapatan pada 2010, turun menjadi Rp49 miliar pada 2011 kemudian rebound ke Rp145,2 miliar pada tahun 2012. Pada 9M13, pendapatan dari penjualan di luar negeri turun sebesar (6%) YoY menjadi Rp101 miliar.

Pada 2014, KAEF berencana untuk meningkatkan jumlah apotek dan klinik sebanyak 100 unit masing-masing, dan meningkatkan kapasitas obat generik untuk mengantisipasi permintaan. Rencana tersebut diperkirakan menelan biaya sekitar Rp250 miliar dari belanja modal.

"Kami melihat kas internal KAEF cukup untuk rencana tersebut. Dengan sekitar Rp170 miliar kas di tangan dan sekitar Rp667,2 miliar piutang, kami percaya KAEF memiliki uang tunai yang cukup," ungkapnya.

Selama 9M13, Pefindo melihat bahwa meningkatnya Upah Minimum Regional (UMR) memberikan efek terhadap marjin KAEF itu. Biaya upah selama 9M13 naik hingga Rp391 miliar, sedangkan pada 9M12 biaya tersebut hanya Rp341 miliar.

Oleh karenanya, marjin laba operasi KAEF terkikis dari 7,8% pada 9M12 menjadi 6,1% pada 9M13. Untuk mengatasi masalah ini, Pefindo melihat strategi KAEF untuk pindah ke layanan yang memberikan marjin yang lebih tinggi, seperti klinik kecantikan, benar-benar tepat.

No comments:

Post a Comment