Sunday, August 3, 2014

Nelayan Terkena Dampak Paling Besar Atas Pembatasan Solar Bersubsidi

Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai aturan yang dikeluarkan oleh Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas mengenai pengurangan kuota solar bersubsidi untuk nelayan sebesar 20 persen akan berdampak kepada jumlah tangkapan yang diperoleh nelayan. "Nelayan akan terpuruk dengan adanya aturan ini," kata Direktur Kapal dan Penangkapan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan Muhammad Zaini ketika dihubungi, Ahad 3 Agustus 2014.

Menurut Zaini, pembatasan solar bersubsidi ini akan mengurangi produksi perikanan tangkap di laut. "Mereka jadi tidak bisa melaut, nelayan-nelayan kecil lah yang akan kolaps," ujar Zaini. Meski nelayan merugi karena hasil tangkapannya berkurang namun mereka tidak dapat menaikkan harga ikan. Akibatnya, biaya operasional yang mahal tidak bisa tertutupi. "Ikan hanyalah produk pangan substitusi. Masyarakat tidak akan membeli ikan jika harganya mahal. Nelayan akan semakin terpuruk sementara harga ikan tidak naik," kata Zaini.

Per 4 Agustus 2014, BPH Migas mengeluarkan aturan pemotongan alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan seperti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) dan Solar Packed Diesel Nelayan (SPDN). Penyaluran solar bersubsidi akan mengutamakan kapal nelayan bertonase di bawah 30 Gross Ton. Pemangkasan kuota ini untuk menjaga agar kuota BBM subsidi pada APBN Perubahan 2014 sebesar 46 juta Kiloliter tidak terlampaui hingga akhir tahun.

PT Pertamina Wilayah Pemasaran Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta melibatkan aparat kepolisian menjaga Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), terkait kebijakan batasan solar subsidi. Langkah ini untuk menghindari keributan menjelang pembatasan pembelian bahan bakar minyak subsidi dberlakukan mulai 4 Agustus mendatang.

"Ini dalam rangka kesiapan pelaksanaan batasan penjualan solar bersubsidi," kata External Relation PT Pertamina, Marketing Operation Region IV Jawa Bagian Tengah dan Daerah Istimewa Yogayakarta, Roberth MV Dumatubu, Ahad 3 Agustus 2014. Menurut Robert, selain melibatkan aparat kepolisian, PT Pertamina juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk penerapan kebijakan dan mitigasi potensi risiko terhadap implikasi batasan penjualan solar. "Selain itu juga berkoordinasi dengan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) untuk untuk persiapan pelaksanaan kebijakan pembatasan solar bersubsidi," kata Robert menambahkan.

Catatan Pertamina menunjukkan, hingga 31 Juli 2014 realisasi konsumsi Solar bersubsidi di wilayah Jawa Bagian Tengah sudah mencapai 1,1 juta kiloliter dengan alokasi kuota yang diberikan dari tahun 2014 sebesar 2,1 juta kiloliter. Sedangkan realisasi konsumsi premium bersubsidi mencapai 2,1 juta kiloliter dari kuota yang disediakan sebesar 3,5 juta kiloliter.

General Manager PT Pertamina Marketing Operation Regional IV Jateng dan DIY, Subagjo Hari Moeljanto menyatakan instansinya telah menetapan cluster sesuai dengan ketentuan kebijakan pemerintah dan berkoordinasi dengan pihak terkait sambil tetap melakukan evaluasi terhadap penerapan batasan waktu penjualan solar bersubsidi tersebut. "Selain sosialisasi kami juga menjaga ketersediaan solar non subsidi, khususnya Pertamina Dex baik dalam bentuk curah maupun kemasan di SPBU," kata Subagjo.

Ia berharap masyarakat dapat memahami pelaksanaan kebijakan iyu sebagai dukungan kelancaran dan ketertiban pelaksanaannya. ekretaris Jenderal Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia, Riyono menilai kebijakan pemerintah membatasi solar subsidi untuk nelayan akan sangat merugikan. Musababnya, 50 persen kebutuhan operasional nelayan ialah untuk membeli bahan bakar.
"Kebijakan pembatasan kuota solar subsidi bagi nelayan sampai kapanpun tidak sesuai dengan kondisi nelayan Indonesia saat ini yang masih termarginalkan. Saya mengamati bahwa nelayan mulai resah dengan kebijakan tersebut," ujarnya kepada Tempo pada Ahad, 3 Agustus 2014.

Alih-alih membantu agar kuota BBM tidak jebol, menurut ia, pembatasan solar subsidi untuk nelayan malah menimbulkan dampak lain di sektor industri perikanan. Pertama ialah berkurangnya pasokan di pasar ikan dan tempat pelelangan ikan tradisional. "Penyebab berkurangnya pasokan ialah kemampuan melaut dari nelayan yang rendah akibat harga solar yang tidak terjangkau," ujar Riyono.

Efek kedua, ia menjelaskan, bisa merembet pada perusakan ekosistem laut oleh nelayan tradisional. Perusakan ini disebabkan oleh aktivitas nelayan yang menangkap ikan dengan bom ikan serta membongkar karang di kawasan laut dangkal akibat tidak mampu melaut hingga ke perairan dalam. Keputusan ini bisa diambil mengingat nelayan tradisional perlu memikirkan strategi untuk menghemat bahan bakar, namun di lain sisi harus memperoleh tangkapan ikan.

Menurut Riyono, pemerintah sebenarnya tidak perlu melakukan pembatasan kuota untuk solar subsidi bagi nelayan. Pembatasan kuota harusnya dikenakan pada pengguna non nelayan dan sektor industri lain yang menyerap solar lebih banyak seperti pertambangan dan perkebunan. "Nelayan tradisional masih perlu diberikan subsidi untuk bahan bakar agar aktivitas melaut tetap berjalan sehingga hasil produksi tetap terjaga," ujarnya.

Sebelumnya pemerintah telah membuat kebijakan bahwa mulai tanggal 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan seperti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) dan Solar Packed Diesel Nelayan (SPDN) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan bertonase di bawah 30 Gross Ton. Pemangkasan kuota ini untuk menjaga agar kuota BBM subsidi yang dipatok dalam APBN Perubahan 2014 sebesar 46 juta Kiloliter tidak jebol.

No comments:

Post a Comment