Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan ada tiga cara yang harus dilakukan pemerintah untuk keluar dari jebakan kelas menengan (middle income trap). Caranya dengan mengurangi kesenjangan infrastruktur, meningkatkan kompetensi daya saing dengan memperbaiki kualitas pendidikan, dan meningkatkan pemanfaatan teknologi.
Untuk ikut serta dalam memperbaiki kualitas pendidikan, Bank Indonesia menjalin kerja sama dengan 72 universitas. "Dengan cara ini, semoga kami bisa ikut mencerdaskan anak bangsa," kata Agus dalam acara penandatanganan nota kesepahaman di Bank Indonesia, Senin, 17 November 2014.
Kerja sama antara bank sentral dan perguruan tinggi ini sudah berlangsung selama sepuluh tahun dengan total mitra 72 universitas. Kerja sama ini meliputi bantuan penelitian, kuliah umum, beasiswa, magang, training for trainer, dan beberapa program lain. "Semoga ke depan, perguruan tinggi dapat menyelaraskan program link and match antara kampus dan dunia kerja," tutur Agus.
Dalam acara penandatanganan ini, hadir rektor dari beberapa universitas yang baru menjalin kerja sama dengan Bank Indonesia. Antara lain, Universitas Nusa Cendana, Universitas Tanjuhuran Malang, Universitas Syah Kuala, Universitas Bung Hatta, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Padjadjaran.
Adapun universitas yang sudah menjalin kerja sama lebih dulu di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Hasanudin, Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas Katolik Parahyangan, UIN Sunan Kalijaga, UNIKA Atmajaya Yogyakarta, UPN Veteran Yogyakarta, dan Universitas Negeri Padang.
Kelas menengah di Indonesia tumbuh luar biasa dalam satu dekade terakhir. Namun, Indonesia harus menghindar dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap). Menurut Wakil Presiden Boediono, dalam pidatonya di Monash University, Australia, Jumat pagi, istilah middle income trapmerujuk pada negara berkembang yang sudah mencapai tingkat pendapatan tertentu, lalu karena berbagai sebab, pertumbuhan ekonominya mandek.
Gejala negara yang terkena jebakan ini antara lain adalah rasio investasi yang mandek, timbulnya berbagai masalah di pasar kerja dan kebijakan tenaga kerja, serta kegagalan meningkatkan sektor manufaktur.
Gejala lainnya, kata Boediono, adalah ketika suatu negara berkembang kesulitan berkompetisi dengan negara berpendapatan rendah di mana upah kerja sangat rendah dan negara berpendapatan tinggi dengan teknologi lebih maju.
Wakil Presiden memberikan ilustrasi soal kesulitan Indonesia dalam berkompetisi di sektor-sektor tertentu dengan negara-negara berkembang di Asia yang upahnya lebih rendah dari Indonesia, tapi juga tak mampu bertarung dengan negara-negara seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura yang punya industri dengan teknologi tinggi.
Karena itu, kata Wakil Presiden, saat ini Indonesia bisa dikatakan terjebak di tengah. "Kita harus berpikir keras bagaimana meningkatkan daya kompetisi ekonomi kita,” kata Boediono. Menurut Wakil Presiden, yang harus dilakukan Indonesia adalah berfokus pada pendidikan dan isu lapangan kerja, serta inovasi dan teknologi. “Tapi, Indonesia masih kekurangan guru berkualitas di semua tingkat, dan distribusinya belum merata."
Hingga 2013, berbagai kebijakan dan inisiatif penting telah diambil. Beberapa di antaranya adalah perbaikan kurikulum sekolah, penyediaan subsidi bagi siswa kurang mampu, serta penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dengan harga terjangkau.
Menurut Boediono, pendidikan online masih dalam tahap perencanaan, tapi aplikasinya diharapkan bisa dilakukan secara nasional mulai tahun depan. “Ke depan, kita ingin lebih banyak perubahan teknologi yang bisa meningkatkan produktivitas,” kata Wapres.
Menurut Wapres, Indonesia tak bisa hanya menunggu mukjizat. Pemerintah harus membuat sistem insentif yang pas, program pengembangan sumber daya manusia di bidang teknologi, kebijakan-kebijakan untuk memperkuat hubungan sektor sains dan teknologi serta dunia bisnis, dan skema pendanaan yang suportif untuk sains dan teknologi.
Di awal pidatonya, Wapres Boediono mengatakan ia merasa gembira bisa kembali ke kampus Monash, tempat dia mengambil kuliah pascasarjana selama dua tahun. Boediono lulus pada 1972.
Monash juga telah memberinya gelar doktor honoris causa yang kedua pada awal Februari tahun ini. “Namun saya hanya salah satu contoh dari begitu banyak hubungan yang terjalin antara Monash dan Indonesia setelah sekian lama,” kata Boediono.
No comments:
Post a Comment