Pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan berdampak pada peningkatan harga BBM dan inflasi di Tanah Air. Berbagai pihak mulai menyiapkan langkah antisipatif.
Namun demikian, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyatakan tidak melakukan langkah cepat berupa peningkatan suku bunga untuk mengantisipasi adanya inflasi. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja menuturkan, pihaknya belum memutuskan akan meningkatkan suku bunga deposito.
Menurutnya, kenaikan inflasi pun tidak serta merta harus disambut dengan kenaikan suku bunga deposito. "(Kenaikan harga) BBM kita lihat dulu deh, kita lihat naiknya kapan, berapa, toh bunga sekarang tidak instan. Kita tinggu saja inflasinya berapa, inflasi tinggi juga tidak harus menaikkan bunga. Kalau demand masih besar di deposito, ya tidak usah dinaikkan dulu," ujarnya di Jakarta, Rabu (12/11/2014).
Adapun data dari Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) Bank Indonesia menyebutkan, per 11 November 2014 suku bunga deposito BCA dalam rupiah mencapai 7 persen untuk jangka enam bulan hingga satu tahun. Sementara untuk deposito di bawah Rp 2 miliar berjangka waktu satu bulan dan tiga bulan suku bunga deposito dipatok sebesar 7,25 persen.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk., Jahja Setiaatmadja, mengungkapkan bahwa kinerja kredit konsumen pada 2014 ini relatif lemah. Namun, dia juga mengungkapkan bahwa langkah BCA menurunkan bunga KPR membuahkan hasil.
"Baru-baru ini kami mencoba menurunkan suku bunga 25 basis poin, tampaknya informasi Pak Henry Koenaifi (Director of Individual Banking dan Director of PT Bank Central Asia Tbk.), sejak kita menurunkan suku bunga, ada tambahan 20 persen atas KPR," ujar Jahja, Kamis (30/10/2014).
Menurut hemat Jahja, kredit konsumen tahun ini memang relatif lemah. Selain KPR, KKB pun mengalami hal serupa. "Kita rasakan memang kredit konsumen relatif tahun ini sangat lemah, baik itu KPR (Kredit Pemilikan Rumah), KKB (Kredit Kendaraan Bermotor), mobil, motor, dan juga credit card. Secara umum, kredit konsumen tertutama KPR itu lemah. Kita baru mencapai outstanding pinjaman per Desember sekitar Rp 52 triliun," lanjut Jahja.
Hanya saja, tidak mudah membuat pertumbuhan kredit, khususnya KPR. "KPR itu tiap bulan terjadi nasabah mencicil. Ada penurunan saldo KPR. Perbulan (cicilan KPR) Rp 1,2 triliun ini jalan di tempat. Kredit baru harus lebih besar dari Rp 1,2 triliun," ujar Jahja.
Kondisi yang mengharuskan uang muda sebesar 30 persen, serta bunga relatif tinggi sontak membuat permintaan KPR melemah. Terbukti, dengan menurunkan suku bunga, jumlah KPR kembali tumbuh.
No comments:
Post a Comment