Saturday, November 15, 2014

Garuda Indonesia Masih Dibayangi Kerugian Meskipun Sudah Ada Aturan Pembatasan Tarif Low Cost Air Carrier Yang Menjadi Kompetitor Utamanya

Maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia (Persero) masih terus dibayangi kerugian setelah membukukan comprehensive loss sebesar 206,4 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,4 triliun pada kuartal III 2014. Hal itu disebabkan karena faktor eksternal dan internal.

Penetapan tarif batas bawah akan lebih menguntungkan maskapai penerbangan full service. Mengapa? Karena tarif batas bawah akan memperkecil jarak tarif antara full service dengan medium service dan no frill. Perbedaan tarif yang ada saat ini hanya terbatas pada perbedaan wajar atas layanan yang diberikan, bukan karena strategi tarif, efisensi biaya dan sebagainya.

Dengan pembatasan tarif bawah, strategi tarif murah dari medium service dan LCC (walaupun hanya untuk beberapa seats), serta tarif murah pada low season yang meskipun merugi namun dapat dikompensasi dengan keuntungan besar ketika peak season tidak lagi dapat dilakukan.

Di sisi lain sebenarnya maskapai penerbangan full service juga dapat melakukan hal yang sama, namun kurang luwes dibanding LCC maupun medium service karena adanya biaya-biaya pelayanan (seperti: ground handling, katering, service premium, priority dan sebagainya) yang relatif bersifat tetap dan tidak dapat diubah-ubah dengan mudah.

Menarik untuk dikaji dari wacana yang dimuat beberapa media elektronik bahwa Direktur Angkutan Udara (Dit Angud)-DJU, menyatakan bahwa: adanya tarif batas bawah hanya untuk mengakomodasi keinginan KPPU (kompas, 25 September 2014). Sementara KPPU menyatakan menolak adanya tarif batas bawah tersebut (Jawa Pos, 1 Oktober 2014). Mana yang benar?

Secara logika pernyataan KPPU lebih masuk akal bahwa tidak perlu ada penetapan tarif batas bawah karena hal tersebut menjadikan kompetisi tidak sehat, sebagaimana disebutkan di atas.
"Faktor depresiasi rupiah, serta masih tingginya harga bahan bakar juga menekan profit mengingat biaya bahan bakar merupakan salah satu komponen biaya operasional terbesar, yaitu mencapai 40 persen,” ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Emirates Satar dalam siaran pers yang diterima,Jakarta, Kamis (14/11/2014).

Selain karena faktor eksternal, tertekannya profit Garuda juga dipengaruhi oleh lambatnya pengembangan infrastruktur transportasi udara nasional yang berdampak pada inefisiensi operasional penerbangan. Sementara itu faktor persaingan yang semakin ketat di Asia Pasifik karena ekspansi maskapai penerbangan murah dan maskapai penerbangan Timur Tengah juga menjadi faktor penghalang.

Di sisi lain yaitu faktor internal, tertekannya kinerja Garuda juga dipengaruhi investasi dalam pengembangan armada dan Citilink selama periode dua tahun terakhir. Meskipun begitu, Garuda mengatakan bahwa investasi itu dilakukan guna memperkuat fondasi dan fundamental peusahaan.

"Melambatnya pertumbuhan ekonomi global berpengaruh pada penurunan permintaan untuk rute-rute internasional dan penurunan kinerja Garuda maupun sejumlah maskapai penerbangan internasional lain, khususnya di kawasan Asia Pasifik yang pasarnya memang semakin kompetitif," kata Emirsyah.

Sebelumnya, Garuda Indonesia membukukan pendapatan operasi (operating revenue) sebesar 2.801,7 juta dollar AS (sekitar Rp 33 triliun) atau tumbuh 4,3 persen dibandingkan Q3-2013. Pertumbuhan pendapatan Garuda itu ditopang berkat melonjaknya angka penumpang dan muatan kargo.

No comments:

Post a Comment