Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Revrisond Baswir, skeptis terhadap kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak berdampak pada melonggarnya ruang fiskal.
Faktanya, menurut Revrisond, dalam empat belas tahun terakhir harga BBM naik rata-rata 33 persen tiap tahunnya, tetapi ruang fiskal malah turun. "Ke mana larinya dana pengurangan subsidi BBM ini?" kata Revrisond saat dihubungi Selasa, 18 November 2014, mempertanyakan. "Belanja modal malah semakin menurun."
Menurut Revrisond, dana penghematan dari kenaikan BBM mayoritas dialokasikan ke belanja pegawai dan belanja barang pemerintah pusat. Selama ini, Revrisond tak ditemukan bukti kenaikan harga BBM dipakai untuk pengalihan subsidi dari sektor konsumtif ke sektor produktif. "Bohong saja itu," kata dia.
Pernyataan Revrisond ini menjawab apa yang pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo tentang politik anggaran. Menurut Jokowi, alokasi anggaran negara untuk subsidi energi sudah terlalu besar dan tak sebanding dengan alokasi anggaran untuk sektor pembangunan.
"Di APBN 2015 sekitar Rp 300 triliun dialokasikan untuk subsidi BBM. Dalam lima tahun, subsidi BBM mencapai Rp 714 triliun," kata Jokowi. Menurut Jokowi, alokasi anggaran negara untuk pembangunan infrastruktur tak sebesar untuk subsidi BBM.
Padahal, Jokowi melanjutkan, jika Rp 714 triliun itu bisa dialokasikan untuk membangun 1.500 waduk dan sebagian jalur kereta api di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. "Setengah jalur kereta bisa jadi," ujarnya.
Karena itu, Jokowi menyebut kenaikan harga BBM bersubsidi ditujukan untuk mendesain ulang anggaran negara. "Ini politik anggaran," ujar bekas Gubernur DKI Jakarta ini. Jokowi mengatakan subsidi BBM harus dialihkan ke sektor-sektor produktif. Salah satunya untuk pupuk, waduk, dan irigasi untuk pertanian. "Waduk itu mahal, sekitar Rp 400-500 miliar, tapi itu produktif karena akan menghasilkan sesuatu untuk negara."
No comments:
Post a Comment