Peredaran barang palsu di Indonesia selama 2013 telah merugikan negara sebesar Rp 65,1 triliun. Kerugian ini meningkat dari jumlah sebelumnya di tahun 2010 sebesar Rp 43,2 triliun. "Dalam kurun waktu lima tahun, pemalsuan meningkat 1,5 kali," kata Eugenia Mardanugraha, peneliti dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta, Rabu 16 Juli 2014.
Barang palsu yang banyak beredar di Indonesia, di antaranya adalah perangkat lunak (software), kosmetika, obat-obatan, pakaian, aksesoris dari kulit, makanan dan minuman, serta tinta printer. Produk tersebut beredar secara masif sehingga menimbulkan kerugian di sektor pajak dan upah kerja.
Menurut data penelitian tim Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, akibat pemalsuan, dalam setahun produk domestik bruto menguap Rp 65,1 triliun, pendapatan pajak berkurang Rp 424 miliar, dan pekerja kehilangan upah atau gaji sekitar Rp 3,4 triliun. "Penyebabnya bisa bermacam-macam, dari penegakan hukum sampai ketidaktahuan produsen dan pembeli barang," ujar Ketua MIAP Widyaretna Buenastuti di kesempatan yang sama.
Widya mengungkapkan, bagi produsen, faktor profit menjadi alasan utama mengapa banyak produsen yang memproduksi barang palsu begitu pula yang dilakukan oleh pedagang. Sementara itu, harga produk palsu yang lebih murah menjadi pilihan para pembeli ketimbang membeli yang asli.
Masifnya peredaran produk tiruan bisa mengakibatkan investor enggan berinvestasi di Tanah Air. Pasalnya, produk palsu yang beredar di Indonesia tahun ini meningkat 1,5 kali lipat dalam periode 5 tahun. Hal ini diungkapkan oleh Eugenia Mardanugraha, peneliti asal Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. "Kami asumsikan investor asing bisa enggan berinvestasi di Indonesia karena banyak produk mereka yang dipalsukan di sini," kata Eugenia di Hotel Grand Sahid Jakarta, Rabu, 16 Juli 2014.
Berdasarkan riset yang dilakukan tim Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan dengan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, terdapat 7 komoditas barang palsu yang banyak beredar di Indonesia. Yaitu, perangkat lunak, tinta printer, pakaian, makanan dan minuman, aksesoris kulit, serta obat-obatan.
"Semua barang yang beredar tanpa izin peredaran resmi tergolong produk palsu," kata Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan, Widyaretna Buenastuti.Widya menjelaskan porsi terbesar barang palsu yang ada di Indonesia adalah tinta printer yaitu 52,2 persen. Selain itu ada produk palsu berupa pakaian sebesar 39,6 persen, aksesoris kulit 38,8 persen, dan perangkat lunak 33,1 persen.
Akibat pemalsuan ini, negara menanggung kerugian Rp 65,1 triliun. Nilai ini meningkat dibanding hasil survei kerugian ekonomi tahun 2013 sebesar Rp 43,2 triliun.Menurut Widya, penyebab peningkatan jumlah produk palsu yaitu karena penegakan hukum yang tidak maksimal. "Produsen tidak takut karena mereka yakin tidak akan diadili karena buat barang palsu, begitupun pembelinya. Tidak seperti di Prancis yang diperiksa ketika di bandara," tutur Widya.
Untuk itu, Widya meminta kepada seluruh stake holder seperti kepolisian untuk menindak tegas pemalsuan ini. Selain itu, ia berharap agar para produsen barang asli untuk membuat hotline untuk pengaduan dari seluruh pelanggan. "Produsen dari produk asli harus mengawasi dan mempublikasikan tiap inovasi atau perubahan produknya langsung kepada konsumen. Kalau bisa bahkan ada hotline," kata Widya.
Dari hasil penelitiannya, Widya memaparkan produk palsu yang paling banyak beredar dan dibeli masyarakat Indonesia adalah tinta printer, yaitu 52,2 persen. Produk palsu yang banyak dinikmati juga yaitu pakaian sebesar 39,6 persen, aksesoris kulit 38,8 persen, dan perangkat lunak 33,1 persen. Survei dilakukan 591 responden di Jabodetabek dan Surabaya untuk melihat tanggapan masyarakat terhadap peredaran barang palsu.
No comments:
Post a Comment