Badan usaha milik negara pengolahan timah, PT Timah (Persero) Tbk, membukukan laba bersih Rp 202,7 miliar pada semester pertama tahun ini. Angka ini meningkat 47,86 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 137,12 miliar. "Laba bersih ini merupakan keberhasilan perseroan melakukan efisiensi di pos nonproduksi," kata Sekretaris Perusahaan PT Timah Agung Nugroho dalam keterangan tertulis, Rabu, 23 Juli 2014.
Perseroan membukukan pendapatan Rp 2,75 triliun atau meningkat 7,69 persen dibandingk periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 2,55 triliun. Produksi bijih timah naik 40,89 persen menjadi 14.352 ton dibanding tahun sebelumnya. Dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013 mengenai sistem ekspor satu pintu dengan berbagai persyaratan, PT Timah yakin berkontribusi positif bagi bisnis perseroan. "Harga jual timah akan meningkat secara berkala."
Perseroan membukukan laba bersih pada kuartal pertama 2014 anjlok 25 persen menjadi Rp 73,9 miliar dibanding realisasi kuartal I 2013 sebesar Rp 126,7 miliar. Direktur Utama PT Timah Sukrisno menuturkan laba bersih turun seiring dengan penurunan pendapatan sebesar 13,9 persen menjadi Rp 1,23 triliun pada kuartal I 2014 dibanding kuartal I 2013. “Penjualan ekspor turun 12,7 persen menjadi Rp 1,1 triliun dan lokal turun 13,4 persen menjadi Rp 84,6 miliar,” katanya.
Penurunan penjualan terutama terjadi di segmen produk logam timah, batu bara, dan jasa eksplorasi. Adapun segmen pendapatan dari tin chemical dan jasa galangan kapal mengalami kenaikan. Perseroan membukukan kenaikan produksi bijih timah 44,09 persen menjadi 6.213 ton pada kuartal I 2014. Sedangkan periode yang sama tahun sebelumnya hanya 4.312 ton. "Brand image dan brand engagement menjadi salah satu kekuatan utama dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat," ujar Sukrisno.
Dari kenaikan tersebut, offshore menjadi kontributor terbesar, yakni 67,29 persen atau 4.181 ton. Sisanya adalah onshore sebanyak 2.033 ton atau 32,71 persen. Kenaikan juga terjadi pada produksi logam timah, yaitu sekitar 7,84 persen menjadi 5.148 metrik ton pada kuartal I 2014 dari 4.319 metrik ton pada periode yang sama tahun lalu. "Mulai 2015, kami akan meningkatkan ekspansi bisnis nontimah. Tujuannya, supaya keberlangsungan usaha dan pertumbuhan skala bisnis timah di masa depan semakin positif," tuturnya.
Kebanyakan emiten tambang, termasuk di sektor timah, mencatatkan kerugian akibat kebijakan larangan ekspor mineral mentah. Implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batu Bara yang mulai diterapkan pada 12 Januari lalu berdampak signifikan pada kinerja perusahaan tambang mineral. Aturan itu membatasi perusahaan melakukan ekspor mineral mentah dan dikenai bea keluar progesif sebesar 60-70 persen hingga 2017, kecuali yang sudah membangun pabrik pemurnian (smelter).
Ketua Tim Panitia Kerja Timah DPRD Bangka Belitung Eka Mulia Putra menduga ada jenderal-jenderal besar yang bermain di balik ekspor timah ilegal yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 4,17 triliun. Namun dia menolak menyebutkan siapa saja para jenderal tersebut. "Saya rasa KPK sudah mengantongi nama para jenderal. KPK yang lebih berwenang menyebutkan nama-nama mereka. Tinggal menunggu keberanian KPK saja," kata Eka, Rabu, 16 Juli 2014.
Menurut Eka, modus yang digunakan untuk menyelundupkan timah ilegal ini adalah dengan melebur biji-biji timah ke dalam timah balok. Selain itu, pelaku biasanya memanipulasi fisik timah ke dalam timah bentuk lainnya seperti timah solder serta melakukakan manipulasi dokumen dan standar mutu. Para penyelundup menunjukkan dokumen yang berisi 100 ton. Padahal jumlah yang diekspor lebih dari itu. “Celah-celah seperti ini sangat gampang dimainkan," ujar Eka.
Eka menuturkan terjadinya ekspor timah ilegal disebabkan oleh pembiaran yang dilakukan oleh Bea-Cukai dan Surveyor Indonesia sebagai pelaksana jasa verifikasi atas kegiatan ekspor, baik volume maupun kualitasnya. Sebelum memberi izin ekspor, tutur Eka, Surveyor Indonesia seharusnya mengecek standar dan asal-usul komoditas tersebut, apakah perusahaan yang melakukan tambang timah sudah clean and clear dan tidak menggunakan kawasan hutan produksi.
Menurut Eka, ekspor timah ilegal terjadi karena ada penadah yang mengumpulkan hasil dulang timah dari masyarakat di sekitar lokasi tambang di Bangka Belitung. Tim Panitia Kerja Timah DPRD Bangka Belitung kemarin mendatangi KPK. Mereka melaporkan total volume ekspor timah ilegal dari 2004 hingga 2013 sebanyak 301.800 MT dengan nilai penjualan Rp 50,12 triliun dan kerugian negara Rp 4,17 triliun.
No comments:
Post a Comment