Menurut Menteri Dahlan modernisasi pabrik gula mutlak diperlukan untuk memacu produksi gula di dalam negeri. Namun masih buruknya mental pejabat di perusahaan tersebut, Menteri Dahlan memprioritaskan memperbaiki sumber daya manusia terlebih dahulu. “Kalau diberi mesin baru tapi mentalnya (manusia di belakangnya) tidak berubah, nggak akan bisa baik. Mesin baru akan hancur juga,” kata Menteri Dahlan.
Perubahan yang akan dilakukan Menteri Dahlan dimulai dari mental para pejabat dan karyawan di pabrik-pabrik. Ia meminta mereka tidak melakukan praktik korupsi dalam menjalankan bisnis perusahaan. Ia mencontohkan menipulasi suku cadang mesin, penipuan penanaman bibit, hingga pemupukan di lahan tanam.
“Itu dulu (mental korup) yang saya benahi. Kalau mental sudah bagus. Saya anggap sudah hampir sempurna baru bicara moderenisasi (mesin),” Jelas Menteri Dahlan. Dahlan menegaskan, setelah perubahan mental pengelola perusahaan ditata, ia akan menyerahkan rencana modernisasi kepada menteri BUMN yang baru mendatang. “Kami serahkan ke menteri dan pemerintahan yang baru, tapi landasannnya sudah kami siapkan,” tutur Menteri Dahlan.Musim giling tebu 2014 dikhawatirkan menjadi tahun petaka bagi para petani dan industri gula dalam negeri. Bila tidak diatasi akan terjadi kebangkrutan massal dan meningkatkan angka pengangguran.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil mengatakan kondisi pada 2013 kemarin sangat memprihatinkan bagi petani tebu dan industri gula dalam negeri. "Akan terjadi kebangkrutan massal dialami petani dan industri gula. Ini bencana," kata dia seusai pertemuan dengan Gubernur Jawa Timur di kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Surabaya, Senin, 7 April 2014.
Menurut Arum, biaya produksi gula petani di atas Rp 11 ribu per kilogram pada 2013 lalu. Sedangkan harga gula petani di bawah Rp 9.000. Pada 2014 ini, menurut Arum, indikasi harga gula berada di bawah Rp 8.000 sudah sangat kentara. Badan Urusan Logistik mengimpor gula plus biaya masuk dengan harga sekitar Rp 7.200. "Kalau biaya produksi petani sudah di atas Rp 11 ribu, ini akan menjadi petaka."
Untuk itu APTRI mendesak pemerintah agar mengimpor gula berdasarkan kuota kebutuhan di dalam negeri guna menjaga pasokan dan permintaan. Bukan berdasarkan kapasitas pesanan industri makanan dan minuman yang ada di dalam negeri.
APTRI juga meminta penetapan daftar negatif investasi terhadap industri gula yang berbahan baku gula mentah impor. Juga meningkatkan efisiensi dan revitalisasi pabrik gula serta tanaman tebu. Peningkatan itu ditandai dengan rendemen petani tebu minimal 12 persen atau sesuai dengan Peraturan Daerah 17 Tahun 2012 bahwa jaminan rendemen petani tebu minimal 10 persen.
Jika rendemen 12 persen dan rata-rata produksi tebu mencapai 100 ton per hektare, biaya produksi petani bisa sekitar Rp 6.400. Sekarang ini gula impor tanpa biaya masuk berada pada kisaran harga Rp 6.500. Artinya, produksi gula dalam negeri memiliki daya saing dengan gula impor.
Usulan itu disampaikan APTRI kepada Gubernur Jawa Timur agar diteruskan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gubernur Jawa Timur Soekarwo pun berjanji akan menyampaikan usulan APTRI kepada pemerintah pusat. Termasuk memperjelas penanggung jawab atas harga pokok pembelian (HPP) gula. Para petani meminta HPP gula Rp 9.500. "Saya akan sampaikan ke Presiden, yang mengagun Rp 9.500 itu siapa? Apa Kementerian Perdagangan?"
Pihaknya juga akan membentuk tim untuk menelusuri penyebab rendemen hanya berkisar 7 persen. Padahal dalam peraturan daerah jelas menyebutkan bahwa rendemen petani tebu bisa mencapai 10 persen
No comments:
Post a Comment