Friday, July 11, 2014

Penolakan Terhadap Kategori Barang Mewah Terus Berlanjut

Direktur Pemasaran dan Komunikasi PT Erajaya Swasembada tbk, Djatmiko Wardoyo, menilai tak sepantasnya telepon seluler dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) oleh pemerintah. Pada Oktober-November 2013 memang pernah ada wacana telepon seluler dianggap sebagai barang mewah, lalu diusulkan dikenai PPnBM.

"Tetapi karena ada penolakan yang kuat, termasuk konferensi pers dari Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) pada April 2014, berisi penolakan pengenaan PPnBM pada handphone, sampai saat ini handphone belum kena pajak barang mewah itu," kata Djatmiko.

Djatmiko menjelaskan, pada tahun 2003-2004, PPnBM memang pernah dikenakan oleh pemerintah kepada barang-barang telekomunikasi. "Tapi ketika itu penerapannya tidak efektif, karena ketika handphone dan semacamnya kian mahal harganya, barang black-market (selundupan) jadi marak," katamya.

Pada prinsipnya, kata Djatmiko, PT Erajaya Swasembada tbk (perusahaan distributor telepon seluler), akan patuh apapun keputusan pemerintah. Tapi, ia menilai memang selayaknya telepon seluler tidak dikenai PPnBM karena tidak lagi termasuk kategori barang mewah. "Negara seperti Malaysia, dan Singapura contohnya, di sana tidak ada PPnBM bagi produk telepon," ujar Djatmiko.

Sebelumnya, pada Rabu, 2 Juli 2014, Kementerian Perindustrian mengusulkan agar produk-produk rumah tangga seperti pendingin ruangan dengan harga di bawah Rp 5 juta, televisi dan lemasi es dengan harga di bawah 10 juta agar dikurangi atau bahkan dibebaskan dari PPnBM. Menteri Perindustrian Mohamad Soleman Hidayat berpendapat, usulan untuk menghapuskan PPnBM ini bertujuan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri. "Sehingga dengan demikian industri dalam negeri akan tumbuh."

Hidayat memastikan, penghapusan PPnBM ini hanya ditujukan bagi barang-barang impor yang sudah bisa diproduksi dalam negeri. Selain itu, pemerintah tetap membuat tarif bea masuk tambahan untuk melindungi produk dalam negeri.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, yakin bahwa usul penghapusan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) oleh Kementerian Perindustrian memiliki tujuan tertentu. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan situasi yang terus berubah, semestinya pemerintah mengkategorikan ulang barang mewah.  “Waktu zaman kemerdekaan, sabun dan odol saja termasuk barang mewah. Tapi sekarang itu sudah menjadi barang biasa,” kata Tutum ketika dihubungi, Kamis, 3 Juli 2014.

Tutum mencontohkan, meski sama-sama memakai barang seharga Rp 100 juta, dua orang bisa dikenai pajak yang berbeda. "Memakai jam tangan dengan harga Rp 100 juta atau memakai kendaraan roda empat dengan harga yang sama, pajaknya harus lain dong," ujarnya. Karena bagi orang kaya mobil dengan harga Rp 100 juta bukanlah barang mewah tapi jam tangan dengan harga Rp 100 juta adalah mewah meskipun bagi masyarakat bawah kedua hal tersebut adalah barang mewah.

Menurut Tutum, pengkategorian ulang barang mewah itu harus dilakukan secara berkala karena perubahan zaman terjadi lebih cepat seiring dengan tumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Hasil pengkategorian ulang itulah yang akan menentukan apakah PPnBM atas suatu barang bisa dikurangi, ditambah, atau dihapuskan. "Harus teratur diklasifikasi ulang. Tidak bisa serta-merta dihapuskan begitu saja," katanya.

Sebelumnya diberitakan Kementerian Perindustrian mengusulkan PPnBM untuk produk-produk rumah tangga dikurangi atau bahkan dihilangkan. "Usulan untuk menghapuskan PPnBM ini bertujuan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri. Dengan demikian, industri dalam negeri akan tumbuh," kata Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 2 Juli 2014.

No comments:

Post a Comment