Monday, July 21, 2014

Harga Cabai Rawit Merah Turun Drastis Menjelang Lebaran

Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) wilayah Jawa Timur Sukoco mengatakan harga cabai di wilayah Jawa Timur sudah bergerak naik. Sukoco mengatakan sejak akhir pekan lalu, harga cabai rawit merah terus naik hingga berada di kisaran Rp 9.000-10.000 per kilogram pada Senin, 21 Juli 2014. "Empat hari terakhir ini sudah mulai naik, harga di tingkat petani Rp 9.000 per kilogram. Kemungkinan ini naik karena kebutuhan menjelang hari raya meningkat," kata Sukoco ketika dihubungi, Senin, 21 Juli 2014.

Sukoco mengatakan harga cabai rawit merah kualitas nomor satu hanya Rp 4.000-5.000 per kilogram pada Jumat, 18 Juli 2014. Sementara cabai rawit merah kualitas nomor dua dihargai Rp 3.500 per kilogram.  Menurut dia, kenaikan harga membuat petani mulai memanen tanaman cabai rawit mereka. Saat harga rawit jeblok di kisaran Rp 5.000, banyak petani memilih tak memanen karena ongkos panen lebih besar. "Ongkos petik lebih tinggi dari harga rawit. Waktu harga cabai besar dan keriting Rp 4.000 per kilogram, masih dipetik karena ongkos petik tidak semahal rawit," kata Sukoco.

Saat ini harga cabai merah besar dan cabai keriting masih bertahan Rp 4.000-5.000 per kilogram di tingkat petani. Meski harga cabai membaik, kata Sukoco, petani masih waspada terhadap gejala ini. "Tanggal 26 Juli itu nanti dicek lagi apakah kenaikan harga ini wajar atau karena permintaan sesaat," kata Sukoco. Tanggal 26 Juli ini merupakan hari terakhir petani memanen cabai sebelum Lebaran.

Ramadan tahun ini, terjadi anomali harga cabai di pasar. Harga yang biasanya naik karena mendekati hari raya justru anjlok. Petani menduga harga cabai anjlok karena impor cabai kering dan pasta cabai yang berlebihan.  Pemerintah diminta untuk menetapkan harga patokan penjualan cabai untuk menyangga produksi cabai yang berlebihan. Langkah ini untuk meminimalisir kerugian petani akibat semakin merosotnya harga cabai hingga ke level Rp 3.000 per kilogram.

"Caranya pemerintah membeli cabai pada harga sedang anjlok untuk kemudian dikeringkan oleh petani," kata Ketua Asosiasi Agrobisnis Cabai Jawa Timur, Sukoco saat, Ahad, 13 Juli 2014. Menurut Sukoco, batas minimal harga yang mestinya sudah ditanggung oleh pemerintah adalah Rp 5.000 per kilogram cabai segar. Pada posisi harga tersebut, petani sebenarnya sudah mengalami kerugian karena biaya produksi cabai saat ini berkisar antara Rp 7.000 - Rp 8.000 per kilogram. "Dengan harga sudah jatuh, pemerintah membeli, jadi subsidinya diarahkan ke situ," katanya.

Cabai yang sudah dibeli pemerintah itu tadi, kata Sukoco, kemudian akan dikeringkan oleh petani agar masa konsumsinya lebih tahan lama. Cabai yang sudah dikeringkan tersebut nantinya bisa dijual lagi ke pasar konsumsi atau diserap oleh industri. "Dengan begitu petani untung, konsumen juga tetap diberatkan, ini ideal," katanya.

Pemerintah menyatakan telah memantau penurunan harga cabai di semua sentra produksi cabai di Indonesia. Penurunan harga yang merosot drastis ini dilaporkan karena melimpahnya suplai. Menurut Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, solusi over suplai ini bisa diatasi dengan mengeringkan cabai agar lebih tahan lama.

Berdasarkan pantauan harga di Pasar Induk Kramat Jati per 11 Juli 2014, harga sejumlah jenis cabai mengalami penurunan. Untuk harga cabai merah keriting dan cabai rawit hijau harganya Rp 8.000 per kilogram. Harga tersebut terus turun dari posisi Rp 9.500 dan Rp 10.000 per kilogram pada hari sebelumnya. Sedangkan untuk cabai rawit merah dan cabai merah besar harganya masing-masing Rp 10.000 dan Rp 11.000 per kilogram.

Harga cabai di tingkat petani terus mengalami penurunan selama Juni hingga Juli 2014. Petani menduga, penurunan harga secara drastis itu bukan hanya karena kelebihan produksi melainkan ada pengaruh impor pasta cabai oleh industri. "Kami mencurigai ada peningkatan impor pasta cabai terbukti dengan berkurangnya serapan industri terhadap cabai petani," kata Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Jawa Timur, Sukoco.

Menurut Sukoco, serapan cabai petani oleh industri menurun hingga 50 persen. Padahal kebutuhan industri setiap bulannya sebenarnya berkisar antara 3.000 - 4.000 ton per bulan. "Dari kebutuhan tersebut 80 persennya berasal dari cabai petani," kata dia.

Sukoco mengatakan, selama ini tata niaga pasta atau bubur cabai ini memang tidak diatur oleh pemerintah. Pemerintah hanya mengatur pemberian rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) atas komoditas cabai segar. Padahal industri bisa saja mengalihkan pasokan untuk kebutuhan cabai segar ke pasta cabai saat harga di tingkat petani sedang tinggi.

Akibat penurunan serapan cabai oleh industri ini, petani mengaku menderita kerugian yang sangat besar. Sebab, harga jual tersebut tidak sebanding dengan biaya produksi. Saat ini harga jual cabai keriting merah di petani hanya Rp 4.000 per kilogram, sementara biaya produksinya mencapai Rp 7.000 - Rp 8.000 per kilogram.

Menteri Pertanian Suswono geram dengan tingginya harga cabai di pasar yang berbanding terbalik dengan rendahnya harga cabai di tingkat petani. Harga cabai di tingkat petani saat ini hanya sekitar Rp 3.000 per kilogram. Namun di tingkat pedagang di pasar harganya melambung tinggi hingga belasan ribu rupiah.

Seperti di Pasar Klender, Jakarta Timur, harga cabai mencapai Rp 18 ribu per kilogram. "Ini jelas petani masih sangat rugi dan pedagang kurang adil," kata Suswono saat berkunjung ke pasar itu, Senin, 21 Juli 2014.

Menurut Suswono, saat ini kondisi cabai di tingkat petani mengalami kelebihan suplai. Akibatnya, harga jual mengalami penurunan drastis. Meski harga di tingkat petani turun, pedagang tetap menaikkan harga. "Petani merugi. Di satu sisi, konsumen mendapatkan barang yang tinggi karena pedagang menjual tiga kali lipat," ujarnya.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan naiknya harga cabai di tingkat konsumen itu disebabkan oleh tingginya permintaan. Menurutnya, kenaikan harga cabai saat ini masih di bawah batas referensi, yaitu Rp 28 ribu per kilogram untuk cabai rawit merah dan Rp 26 ribu per kilogram untuk cabai merah.

No comments:

Post a Comment