Sunday, July 13, 2014

Cara Uni Eropa Hambat Produk Unggulan Indonesia

Hambatan yang dialami produk makanan-minuman Indonesia ke luar negeri tidak hanya dari segi tarif, namun juga non tarif. Standar keamanan pangan menjadi salah satu yang dinilai Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman, akan menjadi penghambat produk Indonesia di luar tarif.

"Saya baru saja berkeliling dengan BPOM ke Amerika Serikat, ke Korea. Persaingan kini bukan cuma soal tarif. Supermarket-supermarket di Eropa sudah minta standar makanan BRC (British Retail Consortium)," ungkap Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman.

"Levelnya jauh lebih tinggi daripada HACCP. Kita bilang Indonesia rata-rata sudah punya HACCP. Tapi ternyata sudah enggak berlaku lagi di sana. Mereka minta lebih tinggi lagi," lanjut Adhi.

Sebagai informasi HACCP atau Hazard Analysis and Critical Control Points, merupakan sistem keamanan pangan yang diakui secara internasional, dan bersifat universal dalam perdagangan dunia. Standar ini diatur oleh Codex Alimentarius Comission, yang merupakan bagian dari Food and Agriculture Organization(FAO).

Adhi mengatakan, negara-negara industri maju terus melontarkan alasan klasik soal peningkatan standar keamanan pangan tersebut. Alasannya adalah demi keamanan pangan dan perlindungan konsumen. "Tapi saya rasa juga untuk menghambat produk masuk, nontarif barrier," kata Adhi.

Adhi khawatir, jika tidak mampu mengikuti "standar" asing tersebut, industri makanan-minuman Indonesia tak mampu bersaing. Negara tetangga seperti Korea juga sudah menerapkan standar BRC.

"Kalau enggak ikutan, kita otomatis kalah, meskipun kita bisa produksi. Makanya perlu dipikirkan ini. Terus terang standar kita lebih rendah dari negara-negara itu," ucapnya.

Dia berharap, dalam waktu dekat Presiden baru harus memikirkan soal daya saing ini. Terlebih lagi, industri makanan-minuman sudah menjadi industri strategis. Untuk masalah standar keamanan pangan ini, Adhi sedikit pesimistis, karena banyak industri kecil yang belum siap. Jangankan untuk global, persaingan di kawasan pun mereka belum tentu mampu memenuhi standar.

"Di ASEAN yang tertinggi levelnya itu Malaysia dan Singapura. Lalu level kedua ada Indonesia, Thailand, Philipina, dan Brunei Darussalam. Terakhir, Laos, Myanmar, dan Kamboja," papar Adhi.

No comments:

Post a Comment