Luasnya peredaran baju bekas impor di pasaran, ternyata tidak bisa dihentikan oleh Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen. Pasalnya, UU tersebut memperbolehkan diperdagangkannya baju bekas impor tersebut. “Baju bekas ini dalam undang-undang nya gini, ketentuan umum impor kan bilang tidak boleh ada impor baju impor, tapi di UU Perlindungan Konsumen pasal 8 ayat 5 boleh diperdagangkan kalau dilaporkan kepada konsumen. Jadi kalau sudah di pasar, kami tak bisa melakukan apa-apa karena diperbolehkan oleh UU Perlindungan Konsumen,” ujar Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, Widodo, di kantor Kemeenterian Perdagangan, Jakarta (18/7/2014).
Widodo menjelaskan, pengawasan terhadap baju bekas tersebut seharusnya sudah dilakukan sejak dari pelabuhan. Karena menurutnya, pelebuhan adalah pintu masuk utama bagi peredaran barang bekas yang ada di pasaran saat ini. Namun dengan realitas bahwa pelabuhan-pelabuhan kecil di pantai timur Sumatera relatif banyak dan sulit di awasi, maka pencegahan masuknya baju bekas tersebut sulit dilakukan.
“Kami bingung juga, ini kan masalah masuknya. Seharusnya (baju bekas) tidak boleh masuk, tapi ini malah masuk. Jadi UU Perlindungan Konsumen tidak bisa menjerat kalau sudah dipasar,” katanya. Kementerian Perdagangan (Kemendag) masih saja menemukan banyaknya barang-barang impor yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di Indonesia.
Hal itu terlihat dari masih adanya barang yang tidak berstandar SNI, tidak berlabel serta tidak memiliki petunjuk penggunaan. Menurut Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Widodo, dirinya selalu berpesan kepada para importir untuk memiliki jiwa nasionalisme, sehingga meraka mengetahui standar-standar apa saja yang harus dipenuhi barang impor.
“Makanya saya suka bilang kepada importir , para importir yang mau impor dia juga harus punya rasa nasionalisme,” ujarnya di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (18/7/2014).
Seharunya kata Widodo, importir wajib mengetahui tandar apa saja yang harus dimiliki barang yang akan diimpor tersebut sehingga nantinya arang-barang yang beredar di pasaran juga sesuai dengan peraturan yang belaku. Namun, jika syarat tersebut tidak bisa dipenuhi, menurutnya, ipmortir harus menyetakan bahwa tidak akan membeli barang impor yang tidak berstandar.
“Barang yang mau di impor harus tahu standarnya seperti apa di Indoneia, misalnya harus SNI, harus punya label," ungkapnya.
No comments:
Post a Comment