Indonesia selalu disebut-sebut sebagai basis pengguna perangkat BlackBerry terbesar dibanding negara-negara lain saat ini. Bahkan, Indonesia mendapat julukan "BlackBerry Nation". Sekitar lima tahun yang lalu, perangkat BlackBerry mendominasi etalase-etalase gerai penjual ponsel di pusat-pusat perbelanjaan besar di Jakarta. Bahkan, pada tahun 2011, sembilan dari sepuluh smartphone yang dijual di Indonesia adalah perangkat BlackBerry.
Namun, kondisinya kini telah berbeda. Perangkat smartphone Android buatan Samsung, Lenovo, Sony, dan bahkan vendor lokal seperti Andromax, Mito, dan Evercoss lebih mendominasi di gerai-gerai ponsel.
Menurut IDC, pangsa pasar BlackBerry memang kian menurun. Pada 2011 lalu, BlackBerry masih memiliki pangsa pasar sebesar 43 persen di Indonesia. Dua tahun berselang, pangsa pasar BlackBerry turun tajam, hanya 13,5 persen untuk pasarsmartphone. Data terakhir yang dirilis IDC, pangsa pasar BlackBerry di Indonesia tinggal tersisa 3 persen saja pada semester pertama 2014.
Dikutip dari The Globe and Mail, Senin (3/11/2014), mantan Country Head BlackBerry Indonesia, Andy Cobham mengatakan bahwa ada tiga hal utama penyebab pangsa pasar BlackBerry terus menurun. Yaitu, kesalahan strategi perusahaan, kompetisi yang ketat, serta friksi atau gesekan-gesekan yang terjadi dalam tubuh perusahaan yang berpusat di Ontario, Kanada itu.
Tiga "dosa" utama BlackBerry
Berbicara kepada The Globe and Mail, Cobham bercerita bahwa sepuluh tahun lalu BlackBerry memiliki teknologi yang fantastis. Perusahaan juga bisa menggerakkan bisnisnya di Indonesia secara pintar. Namun itu dulu sebelum semuanya menjadi berubah. Menurut Cobham, kesalahan BlackBerry saat masih berada di puncak pasar Indonesia adalah menggantungkan segala keputusan yang akan diambil kepada kantor pusatnya di Waterloo, Kanada.
"BlackBerry itu produk kelas dunia, dan Waterloo salah menanganinya," ujar Cobham. "Mereka (perusahaan di Waterloo) itu bukan pemain kelas global, mereka hanya kota kecil."
Kesalahan lain BlackBerry yang diungkap oleh Cobham adalah, BlackBerry terlalu takut dengan hal-hal yang bersifat legal (berkaitan dengan hukum). Cobham mengaku dalam sebuah rapat dengan eksekutif BlackBerry, ia mendengar kata "legal" dua kali lebih sering dibanding saat ia menjabat di Motorola.
BlackBerry, disebut Cobham, juga menolak untuk mengubah materi pemasarannya ke dalam bahasa yang bisa lebih dimengerti oleh orang Indonesia. Alasannya adalah perusahaan tidak mau melanggar hak karya cipta atau copyright.
Seolah belum cukup, kesalahan (blunder) lain diungkap Cobham, kali ini menunjuk mantan CEO, Thorsten Heins. Dalam kepemimpinan Heins, BlackBerry berencana meninggalkan pasar konsumer dan fokus ke pasar korporasi di Indonesia. Sementara, mayoritas konsumen BlackBerry di Indonesia saat itu adalah berasal dari kalangan pengguna rumahan, bukan kalangan korporat atau enterprise seperti di negara-negara lain.
Mantan orang nomor satu BlackBerry tersebut juga seolah meremehkan peran operator seluler di Tanah Air. Cobham secara khusus menyebut Telkomsel yang saat itu memiliki basis 130 juta pelanggan namun tak dipandang penting oleh Heins.
"Kata arogan sebenarnya tidak cukup untuk menggambarkan keputusan mereka, kami (saat itu) sudah mencoba menyarankan bagaimana berbisnis di negara ini," kata Cobham mengomentari sikap Heins terhadap operator seluler terbesar di Indonesia tersebut.
Kurangnya apresiasi dan promosi terhadap karyawan lokal Indonesia juga menjadi perhatian Cobham. Ia mengatakan BlackBerry kurang memberdayakan bakat-bakat lokal, dan perusahaan telah kehilangan beberapa karyawan Indonesia yang produktif. Mereka banyak yang frustasi dan pergi karena merasa kurang diapresiasi.
Sementara terkait hubungan dengan pemerintah Indonesia, BlackBerry juga kurang bisa membinanya dengan apik. Pemerintah Indonesia mendesak RIM (saat itu) untuk membuat pabrik perakitan ponsel dan menaruh server-nya di Indonesia. Namun, BlackBerry menolak dan justru malah membangun fasilitas di negara tetangga, Malaysia.
Jawaban BlackBerry
The Globe and Mail telah mengajukan pertanyaan dan meminta pendapat dari BlackBerry tentang kondisi pasar dan turunnya market share mereka di Indonesia. Jawaban BlackBerry melalui juru bicaranya, Matt Stewart, pun masih terkesan normatif. Menurut Stewart, Indonesia saat ini masih merupakan pasar yang penting bagi BlackBerry. Terbukti bahwa pengguna aktif layanan BlackBerry Messenger (BBM) di Indonesia melonjak 150 persen dibanding tahun lalu.
Namun, berdasar kepada beberapa warga negara Indonesia yang diwawancarai oleh The Globe and Mail, mereka mengaku menggunakan aplikasi BBM dalam perangkat Android, bukan di smartphone BlackBerry. Beberapa orang yang masih menggunakan BlackBerry pun mengaku akan berpindah ke Android.
Cobham pun mempertanyakan mengapa BlackBerry memberikan layanan BBM itu secara gratis dan tersedia untuk perangkat lain seperti iOS dan Android. Hal itu tentunya justru malah membuat orang menjauhi perangkat BlackBerry, sementara perusahaan juga tidak bisa menghasilkan uang dari layanan BBM-nya.
Upaya lain yang dilakukan BlackBerry untuk bertahan di Indonesia adalah dengan meluncurkan layanan dompet elektronik, BBM Money. Selain itu, BlackBerry juga mem-branding smartphone BlackBerry Z3-nya yang dijual di Indonesia dengan nama "Jakarta" untuk mengambil hati pengguna di Tanah Air.
Walau demikian, fokus BlackBerry di Indonesia belumlah berubah. Mereka akan tetap menggarap segmen korporat dan mengabaikan pelanggan dari kalangan biasa saja.
"Indonesia telah menjadi pasar konsumer yang kuat bagi BlackBerry, namun kami yakin konsumen BlackBerry saat ini akan menjadi seorang profesional di masa mendatang, BlackBerry akan terus menjadi pilihan nomor satu bagi konsumen seperti itu," demikian pernyataan BlackBerry dalam e-mail-nya.
No comments:
Post a Comment