"Dalam Rapat Dewan Gubernur yang diselenggarakan dua hari ini, kami menyimak kondisi perekonomian dunia yang kembali lebih lemah dibandingkan sebelumnya," tutur Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo dalam konferensi pers di Gedung Thamrin BI, Kamis (19/5). Menurutnya, pelemahan perekonomian global menjadi perhatian BI. Pasalnya, sumber pelemahan ekonomi tidak hanya berasal dari negara maju, tetapi juga dari koreksi turun proyeksi pertumbuhan negara berkembang. Hal itu akan berdampak pada perkembangan ekspor-impor nasional.
"Kami menyimak bahwa kajian terhadap negara berkembang di dunia terjadi koreksi yang cukup tajam. Tentu hal ini berdampak pada negara berkembang, termasuk Indonesia," ujarnya. Selain itu, lanjutnya, kendati harga komoditas unggulan sudah menunjukkan sedikit pemulihan, tetapi harga minyak dan komoditas energi diperkirakan masih akan rendah.
Sementara dari dalam negeri, pertumbuhan ekonomi nasional tumbuh 4,92 persen pada kuartal I 2016. Agus menuturkan, perlambatan ekonomi terjadi karena masih terbatasnya pertumbuhan konsumsi pemerintah dan investasi swasta meskipun ada upaya akselerasi belanja modal pemerintah.
"Walaupun pertumbuhan ekonomi masih cukup kuat tetapi pertumbuhan konsumsi domestik itu masih belum terjadi peningkatan yang baik dan investasi pemerintah masih menunjukkan kondisi yang belum kuat," ujarnya. Ke depan, Agus melihat perekonomian nasional akan dipengaruhi oleh rencana pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016.
"Tentu dengan mengikuti pembahasan kedua hal itu, kita akan mempunyai gambaran yang lebih banyak dari pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 dan juga jangka menengah," ujarnya. Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menilai dibutuhkan stimulus yang lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah masih lemahnya investasi.
"Stimulus fiskal yang sudah meningkatkan investasi publik di infrastuktur masih belum mampu mendorong investasi swasta. Banyak faktornya bisa dari persepsi bisnis dan hal lain.," ujar Perry. Akselerasi fiskal, lanjut Perry, juga diperlukan mengingat belum menguatnya permintaan konsumsi dan permintaan global. Kendati demikian, ia mengapresiasi stimulus fiskal.
"Koordinasi antara BI dengan pemerintah terus akan diperkuat. Bagaimana pelonggaran dari sisi moneter dan makroprudensial, stimulus dari sisi fiskal dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran," tandasnya. Bank Indonesia (BI) mempertahankan tingkat acuan suku bunga BI rate di level 6,75 persen dan bunga acuan reverse repo 7 hari tetap 5,5 persen.
Keputusan itu merupakan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang berlangsung pada pada 18-19 Mei 2016. Selain itu, RDG juga memutuskan untuk mempertahankan suku bunga depocit facility sebesar 4,75 persen dan lending facility sebesar 7,25 persen. "Keputusan berlaku efektif mulai besok 20 Mei 2016," ujar Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo dalam konferensi pers di Gedung Thamrin BI, Kamis (19/5).
Menurut Agus, keputusan RDG tersebut sejalan dengan upaya menjaga stabilitas makroekonomi, yang tercermin dari terkendalinya inflasi di kisaran sasaran 4 persen plus/minus 1 persen dan membaiknya defisit transaksi berjalan. Selain itu, relatif stabilnya nilai tukar rupiah juga turut menjadi pertimbangan bank sentral.
Agus menilai, transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga berjalan semakin baik, demikian pula dengan persiapan implementasi reformulasi suku bunga acuan. Dia mengatakan ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter yang selama ini terbuka akan dapat dimanfaatkan lebih awal jika stabilitas makroekonomi tetap terjaga. Sementara dari eksternal, Mantan Menteri Keuangan itu menjelaskan, BI juga memperhatikan perkembangan ekonomi global yang diperkirakan tumbuh lebih lambat pada tahun ini.
Menurutnya, pemulihan ekonomi AS masih belum solid, yang diindikasikan oleh melemahnya konsumsi dan beberapa indikator ketenagakerjaan, serta masih rendahnya inflasi. Kondisi ini diperkirakan akan mendorong The Fed untuk menyesuaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) secara hati-hati.
Sejalan dengan itu, lanjut Agus, pertumbuhan ekonomi Eropa juga masih terbatas dan dibayangi isu keluarnya INggris dari Uni Eropa (Brexit). Sementara itu, perekonomian Jepang masih terus tertekan.
"Kondisi tersebut mendorong berlanjutnya pelonggaran kebijakan moneter di negara-negara maju, termasuk melalui penerapan suku bunga negatif," katanya.
Di sisi lain, tambah Agus, ekonomi Tiongkok mulai membaik meskipun masih berisiko, ditopang oleh sektor konstruksi dan real estate. Di pasar komoditas, harga minyak dunia diperkirakan tetap rendah akibat tingginya pasokan di tengah permintaan yang masih lemah. "Namun, harga beberapa komoditas ekspor Indonesia membaik, seperti CPO, timah, dan karet," tandasnya.
No comments:
Post a Comment