Komite Pengawas Perpajakan (KPP) akan mengkaji ulang pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) sebesar 1 persen yang telah berlaku sejak 1 Juli 2013. Pasalnya, banyak pelaku UKM yang merasa dirugikan terutama usaha yang bergerak di bidang distribusi dan jasa.
"Banyak keluhan dari UKM, nanti kami akan meninjau kembali aturan ini. Jika perlu dari hasil penyelidikan dan pengawasan dilapangan, jika terbukti merugikan wajib pajak maka keputusan PP ini akan dianulir dan diatur kembali agar bisa menerapkan prinsip keadilan bagi semuanya," kata Ketua Komite Pengawas Perpajakan Daeng M. Nazier di Jakarta, Selasa (23/2).
Di dalam draf pengaduan ke KPP menyebutkan bahwa usaha yang beromzet besar belum tentu memiliki keuntungan yang besar. Apalagi rata-rata pelaku usaha atau wajib pajak mengeluh karena pemberlakuannya sangat cepat sehingga membuat wajib pajak (WP) kewalahan dikarenakan belum siap dengan sistem tersebut. Pajak bagi UKM sebenarnya telah berlaku sejak pertengahan 2013, yaitu setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Sesuai aturan itu, wajib pajak yang memiliki usaha dengan omzet Rp300 juta-Rp4,8 miliar per tahun terkena PPh 1 persen dari omzet. Awalnya, pajak ini untuk menyasar jutaan pengusaha UKM yang selama ini tidak membayar pajak. Aturan ini pun akhirnya terus berjalan namun banyak yang menilai tidak efektif sehingga banyak yang mengusulkan harus direvisi.
Selain itu, menurut Nazier, KPP juga sering menerima keluhan dari wajib pajak tentang ketidakadilan, ketidakpastian, dan keterlambatan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Ada juga pengaduan terkait sistem, prosedur, kebijakan, dan ketentuan perpajakan yang berlaku. "Semua ketentuan perpajakan yang tidak efektif dan kurang memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan akan disampaikan ke Menteri Keuangan," kata Nazier.
Terkait pungutan pajak, Budayawan Mohamad Sobary menilai keberpihakan pemerintah terhadap petani dan industri tembakau semakin memudar. Ia menilai, belakangan ada kecenderungan pemerintah menihilkan peran petani tembakau dan industri hasil tembakau (IHT) dengan dalih kesehatan masyarakat.
Padahal, sepanjang 2015 lalu IHT tercatat mempekerjakan sebanyak 5,98 juta orang terdiri dari 4,28 juta pekerja di pabrik rokok dan distribusi. Sementara 1,7 juta pekerja lainnya berkontribusi menggarap perkebunan tembakau dan cengkeh dari beberapa daerah di Indonesia. Total penjualan rokok di Indonesia sepanjang 2014 juga telah menghasilkan pendapatan sekitar Rp276 triliun bagi perusahaan-perusahaan rokok. Namun, angka tersebut masih dipotong dengan setoran pajak dan cukai kepada negara sebesar Rp154 triliun.
“Akibat kebijakan pemerintah yang mengancam kelestarian petani tembakau dan IHT, banyak petani yang melakukan perlawanan,” ujar Sobary dari hasil penelitian yang dilakukannya sebagai bahan disertasinya. Ia mengingatkan, pemerintah tidak bisa menganggap enteng kegelisahan petani tembakau di sejumlah daerah. Tidak bisa lagi dalih kesehatan kemudian memberangus ekonomi petani.
"Bagi mereka, pertanian tembakau merupakan satu-satunya sumber penghidupan yang tidak bisa diganggu gugat. Pemerintah tidak pernah mempedulikan aspek ini," tegas Sobary. Kata Sobary, petani melawan kebijakan pemerintah bukan lantaran mereka tidak mau diatur tetapi karena aturan pemerintah dianggap tidak adil. Misalkan saja, daerah tertentu yang memiliki komoditi unggulan berupa tembakau justru malah diarahkan untuk berganti tanaman.
Tidak hanya petani tembakau yang jadi korban. Efek turunannya, IHT juga terpuruk. Terbukti, pabrik-pabrik tembakau di daerah berguguran akibat efek dari kebijakan pemerintah yang kerap menaikkan tarif pita cukai berkali-kali lipat. "Dengan kata lain, kebijakan pemerintah di sektor tembakau bukan mengatur secara adil kehidupan rakyat, melainkan mengatur kematian petani tembakau," tandasnya.
No comments:
Post a Comment