PT Pertamina (Persero) membukukan pendapatan sebesar US$41,76 miliar sepanjang tahun lalu, anjlok 40,34 persen dibandingkan dengan perolehan 2015 yang mencapai US$70 miliar. Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto mengatakan, harga minyak yang melemah sepanjang tahun lalu menjadi faktor yang memukul pendapatan perusahaan hampir separuhnya pada 2015. Ia mengatakan, harga minyak sepanjang tahun lalu menurun 60,38 persen, dari US$ 106 per barel menjadi US$ 42 per barel.
"Memang tahun ini penurunan harga minyak dunia tak terelakkan, dan itu juga berdampak ke Pertamina," jelas Dwi, Selasa (31/5). Meski pendapatan menurun tajam, Dwi menyatakan perseroan masih membukukan laba sebesar US$ 1,42 miliar pada tahun lalu. Laba tersebut turun 1,82 persen dibandingkan perolehan periode sebelumnya US$1,45 miliar.
Menurut Dwi, perolehan laba tersebut tak terlepas dari upaya perseroan melakukan penghematan anggaran. Pada tahun lalu, perusahaan berhasil melakukan efisiensi sebesar US$608,41 juta yang bersumber dari renegosiasi kontrak konstruksi (Engineering Procurement Construction/EPC) hingga penurunan volume penyusutan minyak akibat distribusi (losses).
Berdasarkan catatan Pertamina, penghematan yang dialkukan dari renegosiasi kontrak sebesar US$ 87,66 juta, sedangkan efisiensi kebocoran (losses) distribusi sebesar US$255 juta. Selain itu, perusahaan juga melakukan sentralisasi pembelian material yang bisa menghemat US$2,24 juta.
Atas dasar itu, Pertamina membukukan margin pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) sebesar 12,28 persen atau meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 8,2 persen. "Banyak upaya efisiensi yang kami lakukan dari segi losses, distribusi, dan sebagainya sehingga kami bisa ciptakan margin EBITDA terbaik dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir," ujarnya.
Dengan penurunan laba yang tipis, Dwi mengatakan kinerja Pertamina tahun lalu setidaknya lebih baik dibandingkan perusahaan minyak lain. Dia mencontohkan ExxonMobil yang labanya anjlok 50 persen, Petronas menyusut 64 persen, serta Chevron yang profitnya ambruk 76 persen.
Melengkapi ucapan Dwi, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, lini bisnis hulu menyumbang 60 persen laba perusahaan, sedangkan sisanya yang 40 persen merupakan kontribusi dari bisnis hilir. Atas alasan itu, ia mengaku tak heran jika pelemahan harga minyak mentah sangat mempengaruhi kinerja perusahaan.
Kendati demikian, Arif menuturkan, laba perusahaan dalam denominasi rupiah ternyata meningkat 10 persen, dari Rp17,18 triliun pada 2014 menjadi Rp19,02 triliun pad atahun lalu. Hal ini terjadi berkat depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang lebih besar dibanding penurunan laba perseroan.
"Berbagai perusahaan migas dunia turunnya 40 hingga 60 persen, tapi tahun ini kami hanya turun 1 persen dalam denominasi dolar. Memang sejak Maret hingga September kami merugi, namun akibat penurunan MOPS kami bisa untung," jelasnya. Sepanjang sembilan bulan pertama tahun lalu, Pertamina mencatat laba bersih sebesar US$ 914 juta atau menurun dibandingkan periode tahun sebelumnya sebesar US$ 1,73 miliar.
No comments:
Post a Comment