Wednesday, May 25, 2016

Ketidakadilan Sosial Dalam Tax Amnesty ... Ketika Uang Lebih Bernilai Dari Keadilan

Perdebatan seputar rencana pemerintah menerapkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty kembali mencuat. Kali ini hal yang diperdebatkan adalah tarif tebusan yang harus dibayar peserta tax amnesty kepada negara. Di mata sebagian pihak, tarif tebusan yang tertuang dalam draf RUU Tax Amnesty terlalu rendah dan tidak memenuhi rasa keadilan masyakarat yang selama ini membayar pajak.

Lantas mungkinkah ada keadilan dalam penerapan kebijakan tersebut?.

Bagi pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia (UI), Darussalam, mencari rasa keadilan dari kebijakan tax amnestymemang bukan perkara mudah. Sebab, konsekuensi logis dari kebijakan pengampunan pajak adalah adanya ketidakadilan.

"Sekarang kita berdebat soal tarif dan dibawa ke ranah adil atau tidak adil. Ada yang bilang angka tarif sekarang kekecilan, kalau bisa tarifnya dinaikan lagi. Lantas pertanyaanya mau dinaikan hingga berapa?," ujar Darussalam. "Umpamanya mau dinaikan menjadi 10 persen tarif tebusannya, apakah itu sudah memenuhi rasa keadilan?," lanjut dia.

Di mata hukum kata Darussalam, saat bicara keadilan pajak, tentunya harus mengacu kepada besaran tarif pajak penghasilan (PPh). Saat ini kata dia, wajib pajak badan usaha dikenakan PPh 25 persen sedangkan wajib pajak pribadi yakni PPh 30 persen dan denda maksimal 48 persen.

Meski sudah ada ketentuan itu, ucap dia, tetap saja pemenuhan rasa keadilan dalam kebajikan tax amnesty sulit diukur dengan pasti. "Keadilannya tidak akan pernah selesai karena abstrak, ukurannya susah," ucap Darussalam. Ia menyarankan, pemerintah dan DPR tidak terpaku hanya kepada persoalan tarif tebusan untuk memenuhi rasa keadilan masyakarat. Jangan sampai akibat tarif tebusan yang tinggi, tax amnesty jadi sepi peminat.

Menurut dia, seharusnya pemerintah dan DPR fokus kepada dana yang bisa dibawa pulang ke dalam negeri atau dana repatriasi hasil kebijakan tax amnesty. "Jangan sampai perdebatan tarif membuat tax amnesty gagal. Karena yang dicari bukan uang tebusan tapi dana repatriasinya," kata dia. Sejauh ini, tarif tebus yang akan berlaku untuk deklarasi adalah 2 persen untuk tiga bulan pertama, 4 persen untuk tiga bulan kedua, dan 6 persen untuk enam bulan selanjutnya hingga 31 Desember 2016.

Sementara untuk tarif tebusan yang berlaku atas repatriasi dana adalah 1 persen untuk tiga bulan pertama, 2 persen untuk tiga bulan kedua, dan 3 persen untuk 6 bulan selanjutnya. Saat rapat dengan Komisi XI DPR membahas RUU Tax Amnesty awal pekan ini, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan ada sekitar 6.519 WNI yang menyimpan kekayaannya di luar negeri.

Berapa banyak kekayaan mereka yang disimpan di luar negeri?

Jumlah mencapai sekitar Rp 4.000 triliun. Jika dirata-rata, maka satu WNI menyimpan aset di luar negeri sebanyak Rp 614 miliar. Akumulasi kekayaan yang disimpan di luar negeri itu tidak pernah dilaporkan oleh si empunya sehingga tidak pernah dibayarkan pajaknya.

Padahal, berdasarkan aturan pajak di Indonesia, setiap WNI yang menjadi wajib pajak harus menyetor pajak dari setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WNI bersangkutan.
  • Pajak ini disebut pajak penghasilan atau PPh.
  • Besaran tarif PPh bervariasi, berkisar 5 – 30 persen dari setiap tambahan penghasilan, tergantung seberapa besar penghasilannya.
  • Semakin besar tambahan penghasilan, semakin besar tarif PPh-nya.

Apabila jumlah WNI yang menyimpan dananya di luar negeri dibandingkan total penduduk Indonesia yang sebanyak 255 juta, maka persentasenya hanya 0,000026 persen. Amat sangat kecil dan tidak signifikan sama sekali. Namun, betapa dahsyat kekayaan yang mereka miliki tanpa harus membayar pajak sama sekali. Sebab, simpanan mereka yang sebesar Rp 4.000 triliun itu ternyata hampir dua kali lipat dari belanja negara.

Total belanja negara tahun 2016 ini ditetapkan sebesar 2.095,7 triliun. Belanja itu dipakai antara lain untuk membayar gaji sekitar 4,5 juta PNS, 900.000 TNI/polri, dan pegawai pemerintah lainnya di seluruh Indonesia. Dana itu juga digunakan untuk belanja barang dan modal termasuk membangun infrastruktur seperti waduk, jalan, bandara, pelabuhan di seantero Indonesia.

Yang lebih mencengangkan, jumlah simpanan WNI super kaya di luar negeri ternyata hampir sebanding dengan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) di Indonesia yang sebesar Rp 4.561 triliun per akhir Maret 2016.

M2 terdiri dari uang kartal, uang kuasi, dan surat berharga.

Uang kartal merupakan uang pecahan yang beredar di masyarakat. Uang yang ada di dompet kita merupakan bagian dari uang kartal. Sementara uang kuasi adalah uang yang wujud tidak kita pegang seperti tabungan, deposito, dan giro di perbankan. Jumlah M2 mencerminkan kekayaan seluruh masyarakat Indonesia yang disimpan dalam bentuk uang dan sejenisnya di dalam negeri.

Jadi, simpanan seluruh masyarakat Indonesia yang sebanyak 255 juta hampir setara dengan simpanan 6.519 WNI super kaya di luar negeri.





Kondisi itu menunjukkan betapa timpangnya pendapatan di Indonesia dan dengan adanya tax amnesty ini maka ketimpangan akan semakin besar. Hampir setengah kekayaan total bangsa hanya dimiliki oleh segelintir orang yang jumlahnya tak sampai 1 persen dari jumlah penduduk. Wajar saja, angka gini rasio Indonesia tergolong tinggi.

Gini rasio atau Koefisien Gini adalah ukuran yang dikembangkan oleh ahli statistik Italia bernama Corrado Gini, Koefisien ini digunakan untuk mengukur kesenjangan kekayaan antar penduduk. Semakin kecil angkanya, semakin rendah kesenjangannya. Sebaliknya, semakin besar angkanya, maka kesenjangan pendapatan semakin melebar.

Di seluruh dunia, gini rasio bervariasi, mulai 0,25 yakni Denmark hingga 0,70 yakni Namibia. Adapun angka gini rasio Indonesia, berdasarkan data BPS adalah 0,4. Dalam 20 tahun terakhir, Gini rasio Indonesia cenderung membesar. Kondisi ini menunjukkan, kesenjangan pendapatan semakin melebar.

Dengan kata lain, orang kaya makin kaya, orang miskin tambah miskin seperti juga yang terjadi di Jakarta tahun 2015 dimana kesenjangan antara orang kaya dan miskin semakin lebar. Tidak jelas program Gubernur DKI untuk mempersempit kesenjangan ini.

Melebarnya pendapatan, juga terkonfirmasi dari data distribusi simpanan di perbankan yang dirilis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Data tersebut membagi simpanan dalam 7 rentang nominal yakni simpanan di bawah Rp 100 juta; simpanan Rp 100 – 200 juta, Rp 200 – 500 juta, Rp 500 juta – 1 miliar; Rp 1 – 2 miliar; Rp 2 – 5 miliar, dan di atas Rp 5 miliar.

WNI super kaya tentu digolongkan sebagai pemilik rekening dengan nominal simpanan di atas Rp 5 miliar. Dilihat dari jumlah rekeningnya, pemilik simpanan di atas Rp 5 miliar hanya sebanyak 78.177 rekening atau 0,04 persen dari total rekening simpanan di industri perbankan Indonesia yang sebanyak 175.904.630 rekening.

Namun nilai simpanan segelintir pemilik rekening itu mencapai Rp 2.115 triliun atau 46,48 persen total simpanan di perbankan nasional yang mencapai Rp 4.550,91 triliun. Dilihat dari pangsa terhadap total simpanan, ternyata nilai simpanan di atas Rp 5 miliar cenderung meningkat. Pangsanya per Maret 2016 mencapai 46,48 persen, lebih besar dibandingkan bulan sebelumnya yang 45,66 persen.

Sebaliknya, pangsa simpanan di bawah Rp 5 miliar turun dari 54,34 persen menjadi 53,52 persen. Padahal, porsi jumlah rekeningnya tetap yakni sebesar 0,04 persen. Artinya, akumulasi kekayaan dari segelintir pemilik simpanan di atas Rp 5 miliar lebih cepat dibandingkan pemilik simpanan di bawah Rp 5 miliar. Dengan kata lain, ketimpangan makin melebar.











Nah kini, melalui Tax Amnesty, dana simpanan WNI di luar negeri yang sebesar Rp 4.000 triliun itu coba diambil manfaatnya oleh negara. Para WNI super kaya yang menyimpan dananya di luar negeri sejatinya adalah para pelanggar hukum. Sekurangnya mereka melanggar administrasi perpajakan karena tidak melaporkan kekayaannya secara semestinya. Agar mereka mau melaporkan kekayaannya itulah, pemerintah memberi insentif berupa pengampunan pajak.

Dalam draft RUU Tax Amnesty disebutkan, insentif bagi pemohon tax amnesty antara lain penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana dibidang perpajakan. Selain itu, tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, serta penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan.

Bahkan, dengan memohon tax amnesty, pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan terhadap pemohon akan langsung dihentikan. Pemberian tax amnesty hanya dikecualikan untuk mereka yang memperoleh kekayaan melalui tindak pidana terorisme, narkoba dan perdagangan manusia. Artinya, bagi mereka yang diduga melakukan tidak pidana korupsi, pencucian uang, penggelapan pajak akan dibebaskan dari segala sangkaan bila mengajukan tax amnesty.

Baca : APINDO Dukung Tax Amnesty

Untuk mendapatkan insentif yang dahsyat tersebut, WNI super kaya yang menyimpan dananya di luar negeri cukup membayar uang tebusan. Besarnya tarif tebusan masih dibahas oleh Panja RUU Tax Amnesty yang terdiri dari perwakilan Kementerian Keuangan dan perwakilan Komisi XI DPR.

Namun, sejauh ini, pemerintah dan DPR tampaknya setuju dengan skema ini :
  1. Untuk gelombang pertama, tarif tebusan sebesar 2 persen untuk repatriasi dan 4 persen untuk non repatriasi
  2. Untuk gelombang kedua, tarif tebusan 3 persen untuk repatriasi dan 6 persen untuk non repatriasi.
Tarif tebusan itu akan dikenakan untuk seluruh kekayaan yang dilaporkan.

Dalam skema tersebut, pemohon yang bersedia membawa dananya ke Indonesia (repatriasi) akan dikenakan tarif yang lebih rendah dibandingkan bagi mereka yang tetap menaruh dananya di luar negeri. Berdasarkan hitung-hitungan yang dilakukan, Menkeu Bambang optimistis pemerintah bisa mendapatkan dana sekitar Rp 165 triliun dari pembayaran uang tebusan simpanan WNI di luar negeri.

Uang tebusan yang hanya 2 -3 persen rasanya sangat tidak memberatkan. Apalagi, uang untuk membayar tebusan itu segera akan mendapatkan gantinya. Sebab, dengan ditempatkan di deposito saja, WNI super kaya akan mendapatkan bunga sebesar 7 – 9 persen. Jika dibelikan Surat Utang Negara, bunganya bisa lebih tinggi.

Jadi, tax amnesty tidak hanya membebaskan pemohon dari jerat hukum, tetapi juga akan memperkaya pemohon. Sementara, WNI yang patuh bayar pajak akan gigit jari. Sebab, dengan kepatuhannya, mereka harus bayar pajak 5 – 30 persen.

Apakah ketimpangan akan semakin membesar? Tentu saja.

No comments:

Post a Comment