Al-Naimi, 80, menjabat sebagai menteri minyak sejak 1995 dan menjadi salah satu menteri paling berpengaruh di Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Naimi didepak setelah Pangeran Mohammed bin Salman mengumumkan perombakan kebijakan ekonomi terbesar sejak dibentuknya Saudi Arab Saudi pada 1932 untuk mengurangi ketergantungan negara kerajaan terhadap minyak, dengan rencana menjual saham di perushaan minyak Saudi Aramco.
Salman juga mengumumkan menteri baru yang bertugas di bidang air, transportasi, urusan sosial, kesehatan dan haji dan merestrukturisasi beberapa kementerian di posisi yang telah dijanjikan bakal diubah sebelumnya.
Perubahan signifikan dalam hal ini adalah dibentuknya kementerian energi baru, Kementerian Industri dan Sumber Daya Alam yang dipimpin Khaled al-Falih. Falih digeser dari jabatan sebelumnya sebagai Menteri Kesehatan untuk menggantikan al-Naimi, yang telah menjalankan kebijakan energi di negara pengekspor minyak terbesar tersebut sejak 1995.
Kementerian Air dan Kelistrikan dilebur ke dalam Kementerian Air dan Pertanian, dan Kelistrikan dijadikan kementerian baru. Perubahan besar juga dilakukan di dalam kepemimpinan ekonomi kerajaan, Majed al-Qasbi ditunjuk mengepalai Kementerian Perdagangan dan Investasi dan Ahmed al-Kholifey sebagai Gubernur Badan Moneter Arab Saudi.
Tawfiq al-Rabeeah, mantan menteri perdagangan mengisi posisi baru sebagai Menteri Kesehatan, Suleiman al-Hamdan ditunjuk sebagai Menteri Transportasi dan Menteri Haji diubah menjadi Kementerian Haji Kementerian Haji dan Umrah. Sesuai pernyataan Dekrit Kerajaan, kementerian tenaga kerja dan urusan sosial dilebur menjadi sebuah departemen baru menjadi Komisi rekreasi dan Budaya. Negara pengekspor minyak terbesar dunia, Arab Saudi, tak mau lagi ekonominya bergantung pada minyak, pasca anjloknya harga minyak sejak pertengah 2014. Sebagai langkah awal, reshuffle atau perombakan kabinet dilakukan.
Akhir pekan lalu, Raja Salman mengganti Menteri Perminyakan kawakannya, yaitu Ali al-Naimi yang sudah menjabat di posisi ini sejak 1995. Al-Naimi digantikan oleh Khaled al-Falih, Chairman dari BUMN perminyakan, Saudi Aramco. Nama Kementerian Perminyakan diganti dengan Kementerian Energi, Industri, dan Pertambangan. Dilansir dari Reuters, Senin (9/5/2016), perombakan di bidang ekonomi juga dilakukan di sektor perdagangan. Raja Salman menunjuk Majed al-Qusaibi sebagai Menteri Perdagangan dan Investasi.
Kemudian, Ahmed al-Kholifey ditunjuk sebagai Gubernur Saudi Arabian Monetary Agnecy (SAMA), selaku bank sentral di negara tersebut. Ahmed menggantikan Fahd al-Mubarak yang menduduki posisi itu sejak Desember 2011. Ini jadi perombakan besar sejak Raja Salman naik takhta pada Januari tahun lalu. Langkah ini dilakukan untuk mendukung rencana anaknya, Pangeran Mohammed bin Salman, untuk melakukan perubahan ekonomi besar-besaran pada 2030.
Program Mohammed utamanya adalah, melepaskan ketergantungan Arab Saudi dari sektor minyak. Antara lain dengan membentuk sovereign wealth fund, melakukan privatisasi terhadap Saudi Aramco, pemangkasan subsidi energi, dan peningkatan investasi. Bulan lalu, Mohammed mengumumkan rencana ekonomi baru yang akan menjadikan ekonomi Arab Saudi menempati posisi 15 besar di dunia.
Di bawah rencana ini, Arab Saudi ingin mendorong penerimaan negara dari sektor di luar minyak menjadi US$ 266 miliar di 2030, dan menjual 5% dari saham BUMN perminyakannya, yaitu Saudi Aramco, ke bursa saham, untuk mendapatkan uang US$ 1,9 triliun. Sejauh ini, 87% dari penerimaan Arab Saudi didapat dari minyak. Jatuhnya harga minyak sejak pertengahan 2014 lalu membuat Kerajaan Arab Saudi guncang. Subsidi bensin dipangkas dan utang terpaksa ditarik.
Arab Saudi juga berencana meningkatkan pendapatan dari haji, serta mendorong masyarakat melakukan konsumsi di dalam negeri dengan menciptakan sektor hiburan baru. Menteri Keuangan, Ibrahim Alassaf, aman di posisi yang didudukinya sejak 1996. Raja Salman dalam pengumuman perombakan akhir pekan lalu, mengubah nama Kementerian Air dan Listrik, menjadi Kementerian Lingkungan, Air, dan Agrikultur. Urusan listrik diserahkan ke Kementerian Energi.
Pemerintah Arab Saudi telah bersiap meningkatkan perekonomian mereka tanpa ketergantungan dari sektor minyak. Menurut Saudi, ketergantungan mereka terhadap hasil minyak telah membahayakan perekonomian negara.
Seperti dikutip dari CNN Money, Senin (25/4), wakil putra mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, menyampaikan "visi Arab Saudi untuk 2030" yang menargetkan negara itu menjadi satu dari 15 negara dengan perekonomian terbesar dunia. Menurut Mohammed, kekayaan minyak Saudi yang merupakan penyumbang terbesar pemasukan negara malah membuat perekonomian mereka mundur. Mohammed bahkan menyebut ketergantungan Saudi terhadap minyak sebagai "kecanduan."
"Kami memiliki kecanduan di kerajaan Arab Saudi dan itu berbahaya. Hal ini yang menghambat perkembangan pada banyak sektor dalam beberapa tahun terakhir," kata Mohammed dalam wawancara dengan stasiun televisi Al Arabiya. Di bawah rencana ini, Saudi akan meningkatkan pemasukan di sektor non-minyak hingga enam kali lipat menjadi US$266 miliar pada 2030, menjual sebagian saham perusahaan minyak nasional Aramco, dan menciptakan dana publik sebesar US$1,9 triliun untuk investasi di dalam dan luar negeri.
Minyak telah menyumbang 87 persen pemasukan bagi Saudi dan jatuhnya harga minyak mentah sejak 2014 telah membuat perekonomian negara itu sedikit terpuruk. Saudi mulai memotong subsidi dan meminjam miliaran dolar untuk menyeimbangkan anggaran mereka. Minyak Arab Saudi adalah salah satu yang termurah di dunia, dengan harga produksi hanya US$10 per barel. Namun negara itu perlu menjualnya dengan harga US$86 per barel, atau dua kali lipat harga minyak saat ini, agar anggarannya seimbang, berdasarkan estimasi IMF.
IMF juga memperkirakan pertumbuhan GDP Saudi akan melambat menjadi 1,2 persen di tahun 2016, dibanding 3,4 persen tahun lalu. IMF memperingatkan, jika Saudi tidak melakukan perubahan besar maka negara itu akan kekurangan uang tunai dalam waktu kurang dari lima tahun. Dalam visi tahun 2030, Saudi menargetkan peran yang lebih besar dari sektor swasta agar menyumbang setidaknya 65 persen bagi perekonomian negara. Sebelumnya, swasta hanya memiliki porsi 40 persen.
Mayoritas warga Saudi, sekitar 70 persennya, bekerja sebagai pegawai pemerintah dengan gaji 1,7 kali lipat lebih besar ketimbang pekerja di sektor swasta, berdasarkan data survei pasar kerja Saudi. Sementara sektor swasta di negara itu didominasi oleh pekerja asing yang tidak mendapatkan penghasilan serta jaminan kerja yang sama dengan pekerja asli Saudi.
Dalam visinya, pemerintah Saudi ingin mendorong warga asli untuk bekerja di perusahaan swasta. Saudi akan menggunakan dana kekayaan negara untuk membantu pengembangan sektor swasta, di antaranya yang bergerak di industri manufaktur, pariwisata, dan pertambangan. Kerajaan juga berencana membeli lebih banyak senjata dari produsen dalam negeri. Selama ini, 50 persen persenjataan Saudi dibeli dari luar negeri.
Diharapkan strategi ini bisa mengatasi angka pengangguran di kalangan pemuda. Setidaknya setengah dari populasi Saudi berusia di bawah 25 tahun dan sektor publik tidak bisa memenuhi kebutuhan pekerjaan bagi mereka. Berdasarkan visi ini, angka pengangguran di Saudi akan menurun hingga 7 persen pada 2030 dari sebelumnya 11 persen. Arab Saudi sebelumnya telah mengumumkan langkah penghematan, di antaranya mengurangi subsidi air dan energi serta memangkas program beasiswa asing.
Dalam rencana baru ini, Saudi juga akan menggenjot sektor pariwisata. Saudi menargetkan 30 juta jemaah haji dan umroh pada 2030, meningkat dari jumlah saat ini yaitu 8 juta jemaah.
No comments:
Post a Comment