Berdasarkan data Bloomberg, posisi tertinggi indeks dollar tahun ini terjadi pada 22 Januari lalu. Pada waktu itu, indeks bertengger di level 1.253,10. Namun, sejak saat itu, posisi indeks berfluktuatif dan menyentuh level terendahnya di level 1.156,29 pada 2 Mei lalu.
Baru pada pekan lalu, dollar berhasil mencatatkan kenaikan terbesar dalam enam pekan terakhir sebesar 1,5%. Kondisi itu meminimalisir penurunan indeks dollar di sepanjang tahun ini hingga Rabu (11/5) menjadi 4,1%. Catatan saja, data Bloomberg menunjukkan, pada Rabu kemarin, Bloomberg Dollar Spot Index ditutup di level 1.177,51. Sejumlah analis pun berspekulasi. Benarkah dollar AS sudah menyentuh level Bottom?
Goldman Sachs Group Inc berpendapat, masa pelemahan dollar AS sudah berakhir. Pernyataan Goldman didasarkan pada data pergerakan indeks dollar pekan lalu. Dalam hasil riset yang dirilis bank investasi ini, indeks the greenback sudah reli 3% dari posisi terendah dalam setahun yang tercipta pada pekan lalu. Indeks dollar bahkan terus mendaki meskipun data pertumbuhan tenaga kerja AS merupakan yang terendah dalam tujuh bulan terakhir.
Menurut Goldman Sachs, kenaikan indeks dollar pasca dirilisnya data tenaga kerja AS menunjukkan ekspektasi market akan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan suku bunga the Fed sudah melorot, sehingga mendorong dollar untuk rebound. "Kami masih bullish terhadap dollar dan menilai faktor pendorong masih sangat besar," jelas Robin Brooks, chief currency strategist Goldman Sachs di New York.
Salah satu indikasinya, lanjut Brooks, reaksi dollar tetap melambung meskipun di saat yang sama data tenaga kerja AS mengecewakan. Goldman mengestimasi, dollar akan perkasa 15% dalam dua tahun ke depan seiring normalisasi kebijakan moneter oleh bank sentral. Jika dijabarkan, ada beberapa sentimen yang akan mempengaruhi pergerakan dollar AS ke depannya. Pertama, kebijakan suku bunga the Federal Reserve.
Meski sejumlah petinggi the Fed beberapa waktu belakangan mengeluarkan pernyataan bernada hawkish (potensi kenaikan) mengenai suku bunga AS dalam waktu dekat, namun market belum sepenuhnya yakin. Saat ini, menurut Goldman Sachs, trader memprediksi kemungkinan the Fed mengerek suku bunga sebelum musim gugur nanti hanya 6% saja. Goldman juga bilang, trader tidak lagi mengacu pada the Fed dan berpaling pada kebijakan bank sentral lain untuk memprediksi pergerakan dollar.
"Dengan kata lain, the Fed hanya selingan bagi dollar saat ini," imbuh Brooks. Sebagai contoh, Bank of Japan mengejutkan market pada bulan lalu dengan tidak mengubah suku bunga. BOJ juga enggan menambah stimulus dengan alasan ingin mengevaluasi kebijakan suku bunga negatif untuk beberapa waktu ke depan.
Selain itu, Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Mario tampak optimistis mengenai inflasi dan perekonomian pada pertemuan 21 April lalu. Hal ini mengejutkan investor yang berspekulasi ECB akan memberikan sinyal untuk menambah stimulus. Sejumlah analis yang disurvei Bloomberg juga meramal, ECB akan kembali menambah stimulus ke sistem finansial Eropa.
Kedua, data ekonomi AS. Pasar tenaga kerja AS masih menunjukkan kondisi yang positif, sehingga memudarkan kecemasan mengenai perlambatan ekonomi global. Tingkat pengangguran Amerika masih tetap rendah di level 5%. Sedangkan pertumbuhan tingkat upah secara year on year masih bergerak di kisaran 2%. Di sisi lain, pengajuan klaim pengangguran mingguan masih berada di kisaran 250.000 hingga 290.000 pada empat bulan pertama tahun ini.
Ketiga, perekonomian China semakin stabil. Saat ini, kecemasan pelaku pasar mengenai ekonomi Negeri Panda mulai mereda. Sejumlah analis menilai, ekonomi China saat ini sudah menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Selain itu, ada sejumlah alasan mengapa perekonomian China tidak akan jatuh.
Salah satunya, yuan saat ini sudah menjadi mata uang elit Badan Moneter Internasional (IMF). Masuknya yuan ke dalam keranjang Special Drawing Right's (SDR) akan dimulai pada Oktober tahun ini. Meski dalam jangka pendek belum terlihat manfaatnya, namun untuk jangka panjang hal ini dapat mengerek tingkat permintaan yuan sehingga bisa mengembalikan mata uang ini ke posisi equilibriumnya.
Inklusi yuan ke SDR juga akan memungkinkan China meliberalisasi sektor finansial dengan membuka wilayah investasi baru. Tidak hanya itu, China juga tengah melakukan reformasi finansial. Selama ini, China mematok nilai tukar yuan terhadap dollar AS. Namun, sejak kuartal III 2015, China mengejutkan dunia finansial dengan mengendurkan nilai patokan mata uang mereka dengan menyerahkannya ke mekanisme pasar.
Dengan melakukan hal ini, China telah mengurangi intervensi pemerintah terhadap nilai tukar mata uang mereka. Kendati begitu, mereka masih mengontrol fluktuasi yuan dengan memberikan ruang kepada market untuk bereaksi secara rasional.Sementara itu, analis Societe Generale SA dan Brown Brothers Harriman & Co tidak terlalu bullish. Menurut mereka, pulihnya dollar AS sangat tergantung pada data ekonomi ke depannya.
Marc Chandler, global head of currency strategy Brown Brothers Harriman di New York berpendapat, pergerakan dollar ke atas level 108 yen dan penurunan dollar terhadap euro ke bawah level US$ 1,1350 akan memberikan sinyal dimulainya pemulihan atas kinerja dollar pada pekan lalu.
"Namun, isu utama yang dihadapi pasar pertukaran mata uang adalah apakah kekuatan dollar AS pada pekan lalu bisa bertahan atau sebaliknya. Sangat mungkin market sekali lagi berada di persimpangan di mana posisi dollar akan berbalik arah lagi," imbuhnya. Kit Juckes, global strategist Societe Generale di London, berpendapat, penurunan dari sisi nominal dollar diimbangi dengan penurunan tingkat inflasi sehingga mendukung stabilisasi dollar.
"Saya tidak akan menggambarkan pergerakan dollar ini sebagai sesuatu yangbullish. Ini merupakan kasus tarik menarik antara dollar bulls dan bearssementara kita menunggu informasi baru," urai Juckes. Berdasarkan hasil survei Bloomberg, dollar diramal akan menguat ke level US$ 1,11 per euro dan 115 yen pada akhir tahun.
Penguatan dollar AS tentunya menyebabkan nilai tukar mata uang negara lain akan melemah. Tak terkecuali rupiah. Lalu, bagaimana nasib rupiah ke depannya? Ariston Tjendra, Senior Research and Analyst Monex Investindo Futures, menuturkan rupiah masih memiliki ruang untuk menguat terhadap dollar AS. Alasannya, data-data ekonomi Indonesia masih cukup bagus saat ini.
Sebut saja posisi cadangan devisa Indonesia pada April 2016 yang lebih baik ketimbang bulan sebelumnya. Hal ini yang menyokong mata uang Garuda. Demikian juga dengan penjualan ritel pada bulan Maret yang naik menjadi 11,6%, dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang hanya 10,6%.
"Memang kemarin sempat tertekan karena PDB kuartal I berada di bawah ekspektasi pasar," paparnya. Sekadar catatan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama hanya mencapai 4,92% secara year on year. Pencapaian ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2015 yang mencapai 5,04%.
Ariston juga bilang, peluang kenaikan suku bunga AS bisa jadi kunci pergerakan USD/IDR. "Ada ekspektasi kenaikan suku bunga AS hanya sebanyak satu kali. Ini bisa menahan penguatan dollar," imbuhnya. Dia memprediksi, hingga akhir tahun, nilai tukar rupiah akan berada di kisaran 12.800. Pelemahan nilai tukar Rupiah di akhir pekan bakal berlanjut di awal pekan ini. Belum ada katalis yang bisa mengangkat Rupiah.
Di pasar spot, Jumat (20/5) valuasi Rupiah merosot 0,32% ke Rp 13.608 per dollar AS. Sejalan, kurs tengah Bank Indonesia mencatat Rupiah tergerus 0,79% menjadi Rp 13.573 per dollar AS. Research and Analyst PT Garuda Berjangka Sri Wahyudi mengatakan, tekanan terhadap Rupiah awal pekan ini mulai mereda. Mengingat Senin (23/5), nyaris tidak ada data ekonomi yang mendukung USD.
Sementara Reny Eka Putri, Analis Pasar Uang Bank Mandiri bilang, dukungan dari dalam negeri belum ada yang kuat. "Yang ada justru permintaan USD dalam negeri meningkat," jelas Reny. Untuk itu Reny menebak Senin (23/5) Rupiah bergerak melemah tipis di kisaran Rp 13.475- Rp 13.680 per dollar AS. Sedangkan Wahyudi memprediksikan, mata uang Garuda di antara Rp 13.590 sampai dengan Rp 13.640 per dollar AS.
Sebut saja posisi cadangan devisa Indonesia pada April 2016 yang lebih baik ketimbang bulan sebelumnya. Hal ini yang menyokong mata uang Garuda. Demikian juga dengan penjualan ritel pada bulan Maret yang naik menjadi 11,6%, dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang hanya 10,6%.
"Memang kemarin sempat tertekan karena PDB kuartal I berada di bawah ekspektasi pasar," paparnya. Sekadar catatan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama hanya mencapai 4,92% secara year on year. Pencapaian ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2015 yang mencapai 5,04%.
Ariston juga bilang, peluang kenaikan suku bunga AS bisa jadi kunci pergerakan USD/IDR. "Ada ekspektasi kenaikan suku bunga AS hanya sebanyak satu kali. Ini bisa menahan penguatan dollar," imbuhnya. Dia memprediksi, hingga akhir tahun, nilai tukar rupiah akan berada di kisaran 12.800. Pelemahan nilai tukar Rupiah di akhir pekan bakal berlanjut di awal pekan ini. Belum ada katalis yang bisa mengangkat Rupiah.
Di pasar spot, Jumat (20/5) valuasi Rupiah merosot 0,32% ke Rp 13.608 per dollar AS. Sejalan, kurs tengah Bank Indonesia mencatat Rupiah tergerus 0,79% menjadi Rp 13.573 per dollar AS. Research and Analyst PT Garuda Berjangka Sri Wahyudi mengatakan, tekanan terhadap Rupiah awal pekan ini mulai mereda. Mengingat Senin (23/5), nyaris tidak ada data ekonomi yang mendukung USD.
Sementara Reny Eka Putri, Analis Pasar Uang Bank Mandiri bilang, dukungan dari dalam negeri belum ada yang kuat. "Yang ada justru permintaan USD dalam negeri meningkat," jelas Reny. Untuk itu Reny menebak Senin (23/5) Rupiah bergerak melemah tipis di kisaran Rp 13.475- Rp 13.680 per dollar AS. Sedangkan Wahyudi memprediksikan, mata uang Garuda di antara Rp 13.590 sampai dengan Rp 13.640 per dollar AS.
No comments:
Post a Comment