Memulai bisnis memang bukan sesuatu pekerjaan yang mudah. Apalagi bisnis yang berkaitan dengan makanan. Kepercayaan konsumen menjadi hal yang sangat krusial untuk dipertahankan. Begitulah prinsip yang dipegang teguh oleh Fatma Dewi hingga sekarang. Baginya, keuntungan dalam rupiah adalah efek dari kepercayaan yang diberikan oleh konsumen atas produk yan dijual.
"Biarlah rugi, asalkan kepercayaan orang bisa terjaga," tegas Dewi di kediamannya, Lubuk Basung, Sumatera Barat pada pekan lalu. Dewi menciptakan produk bernama Dendeng Rinuak. Ini adalah sejenis makanan ringan yang merupakan khas dari ranah minang. Belum banyak orang yang tahu, karena memang baru lahir dari racikan tangan ibu rumah tangga ini.
Rinuak merupakan sejenis ikan berukuran kecil, seperti teri yang hanya ada di danau Maninjau, Sumatera Barat. Bagi masyarakat sekitar, rinuak menjadi makanan sehari-sehari. Diolah dengan cara digoreng balado, pepes dan lainnya.
Sampai akhirnya pada 2014 silam, Dewi datang ke Maninjau. Rinuak bukan barang baru baginya. Dari kecil Dewi sudah mengkonsumsi rinuak, karena kediamannya yang tidak terlalu jauh dari danau tersebut. Akan tetapi dari kunjungan terakhir, Dewi melihat ada potensi yang besar untuk dikembangkan.
Dari kantongnya, dikeluarkan Rp 100.000 untuk membeli rinuak, tepung beras, daun jeruk dan minyak goreng. Olahan pertama adalah sala (sejenis pergedel), namun lebih tipis. Hasilnya ternyata belum memuaskan. Dewi pun kembali ke dapur keesokan harinya untuk menggoreng kembali sala tersebut ditambah dengan beberapa bumbu. Bentuknya dibuat menjadi sangat tipis, seperti dendeng. Ternyata rasanya enak dan gurih. Maka kemudian lahirlah Dendeng Rinuak.
"Sebelumnya belum ada. Kan selama ini orang tahunya dendeng itu daging sapi. Nah ini ikan kecil, terus dihancurkan, diolah dan jadilah Dendeng Rinuak," jelasnya. Ibu yang tadinya gemar membuat kue ini kemudian menjajakan Dendeng Rinuak kepada beberapa teman. Dewi mengaku tidak sedikit mendapat tanggapan yang seperti ejekan. Maklum saja, bagi sebagian orang tidak pernah terpikir ikan bisa berubah menjadi dendeng.
"Banyak yang bertanya itu makanan apaan. Karena pikiran orang banyak ikan jadi dendeng pasti tidak enak. Tapi ya kita kasih saja tester, kita sendiri yakin saja," terang Dewi bercerita. Keyakinan Dewi menuai hasil yang positif. Pujian terhadap produk olahannya banyak berdatangan. Ia kemudian memberanikan diri untuk masuk ke toko-toko di Padang dengan berbentuk kemasan yang lebih menarik.
Dewi juga mulai mengurus syarat administrasi. Seperti PIRT (pangan Industri Rumah Tangga), label halal dan lainnya. Proses tersebut memakan waktu cukup lama, tapi tetap harus dipenuhi. Dendeng Rinuak tersedia dalam berbagai kemasan. Mulai dari 1 ons dengan harga Rp 15.000 dan selanjutnya 1/4 kg dan 1/2 kg dengan harga sesuai kelipatannya.
Sekarang produknya sudah tersedia di hampir seluruh toko oleh-oleh ternama di wilayah Padang dan Bukittinggi. Baru saja, Dewi memperluas penjualan ke wilayah Pekanbaru, Riau yang dibantu oleh beberapa rekanan.
"Tadinya antar barang sendiri naik kendaraan umum. Sekarang sudah pakai kendaraan sendiri," ujarnya. Dewi mengandalkan kediaman untuk produksi. Bersama dua orang pegawainya, mampu memproduksi 15 kg Dendeng Rinuak dalam sehari. Dalam sebulan penjualannya mencapai Rp 12 juta dengan laba bersih sekitar Rp 5 juta.
"Laba bersih rata-rata Rp 5 juta per bulan," imbuhnya. Untuk promosi, Dewi masih menjalankan skema yang cendeung tradisional, yaitu dari mulut ke mulut. Meskipun ke depan akan didorong melalui penggunaan media sosial agar lebih banyak orang dapat mengetahui produknya.
"Akan dilakukan, kan inginnya Dendeng Rinuak bisa dikenal sebagai salah satu oleh-oleh khas minang oleh orang daerah lain dan dunia," ungkapnya. Beberapa produk juga akan terus dikembangkan. Selain dendeng, sekarang Dewi coba memasarkan rakik (peyek), bada (teri) goreng dan abon. Untuk produk abon masih dalam tahap percobaan.
Dalam menjalankan bisnis, Dewi juga tidak terlepas dari berbagai tantangan. Di antaranya adalah panen rinuak yang bersifat musiman. Saat cuaca buruk yang biasanya terjadi dua kali setahun, produksi rinuak menurun. Sehingga yang harganya tadi Rp 12.000/kg bisa menjadi Rp 30.000/kg.
"Rinuak ini juga nggak bisa disimpan lama. Jadi saat beli langsung dimasak. Paling lama satu hari disimpan," pungkasnya. Dewi juga melatih para pegawai agar tetap menjaga kekuatan rasa dari produknya.
No comments:
Post a Comment