Friday, May 13, 2016

Pemerintah Lewat BUMN Akan Masuk Bisnis Peternakan Ayam Untuk Turunkan Harga

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendorong perusahaan pelat merah PT Berdikari (Persero) yang bergerak di bidang peternakan sapi untuk melebarkan sayap usahanya ke peternakan ayam. Hadirnya badan usaha milik negara (BUMN) dinilai KPPU mampu mengimbangi dominasi peternak ayam swasta yang dikhawatirkan mengatur harga, sehingga membuat daging ayam jadi mahal jelang lebaran.

Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengusulkan PT Berdikari untuk mengurusi peternakan dari sisi hulu saja. "Di dalam penataan peternakan ayam, nanti BUMN keikutsertaannya ada di hulu. Di khususnya di penghasil bibit ayam (Grand Parent Stock), anak ayam (Day Old Chick), hingga pakan ayam itu sendiri," jelas Syarkawi di Jakarta, Jumat (13/5).

Ia melanjutkan, PT Berdikari nantinya akan bermitra dengan peternak mandiri di sentra peternakan ayam di Pulau Jawa, yang nantinya akan memasok daging ayam ke pasar domestik. Dalam jangka panjang, ia berharap ini bisa mengurangi peran swasta yang dominan di sektor hulu peternakan ayam. Menurut Syarkawi, saat ini 80 persen usaha ternak ayam dari hulu ke hilir dikuasai oleh perusahaan swasta. Ia beralasan, sudah saatnya kini peternak kecil dan Pemerintah mengambil peran lebih dominan seperti yang terjadi di dekade 2000-an.

"Peternak mandiri nantinya akan menjadi dominan. Dengan model penataan seperti ini, kehadiran BUMN akan membangkitkan kembali peternakan rakyat. Swastanya sendiri ke depan akan berkurang dengan sendirinya," jelasnya. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai penataan tata niaga dan model bisnis unggas mendesak untuk dilakukan menyusul dugaan kartel harga ayam yang dilakukan oleh 12 perusahaan.

Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan selama ini model bisnis unggas yang berkembang lebih banyak merugikan, bahkan mematikan bisnis para peternak mandiri. "Ini kan lumayan ekstrim. Kadang harga daging ayam itu mahal banget, kadang murah banget. Ini juga saya paparkan ke Pak Menko (Darmin Nasution), dan Pak Menko langsung menyadari ini," ujar Syarkawi ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin (7/3) malam.

Syarkawi mengatakan, persaingan sengit antara perusahaan peternak besar dengan peternak ayam mandiri dan kemitraan bermula pada tahun 2009. Saat itu, terjadi peningkatan konsumsi daging ayam nasional, dari 7 juta kg per tahun menjadi 15 juta kg per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan nasional, jelas Syarkawi, para perusahaan besar seperti PT Charoen Pokphand Jaya Farm dan PT Japfa Comfeed Indonesia diperbolehkan memasok ayam hasil produksinya ke pasar tradisional dan tidak hanya khusus untuk diekspor. Ketentuan tersebut diatur dalam perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan dan Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

"Sebelum tahun 2009 pasar tradisional ini diisi 80 persen oleh peternak mandiri. Setelah perubahan UU barulah ini strukturnya berubah, 80 persen mitra afiliasi, dan kurang 20 persen yang dari peternak mandiri," katanya. Ia mengatakan, dalam rapat bersama Menko Darmin Senin (7/3) malam pemerintah telah menyetujui upaya penataan ulang bisnis tersebut. Arahnya, pemerintah akan membuat bisnis peternakan indukan dan bibit ayam (DOC) hanya dilakukan oleh para peternak mandiri dan kemitraan saja. Dengan begitu potensi adanya kartel bisa dihilangkan.

"Peternak terafilasi ini bisa masuk ke peternakan tapi ekspor, kalau untuk di pasar domsestik dan tradisional biarkan peternak mandiri dan kemitraan, tapi kemitraan yang diatur dengan benar-benar detail sehingga mereka tidak dieksplotasi oleh yang inti," katanya.

Menurut Syarkawi, Mahkamah Konstitusi saat ini tengah melakukan judicial review terhadap UU Nomor 18 Tahun 2009 junto UU Nomor 41 Tahun 2014 mengenai pertimbangan penataan model bisnis perunggasan yang tidak memperbolehkan perusahaan yang memiliki stok indukan (GPS dan GGPS) masuk ke pasar tradisonal.

Dia memperkirakan butuh waktu transisi hingga tiga tahun untuk dapat sepenuhnya menerapkan model bisnis seperti itu. Selama masa transisi itu diperlukan pula peran perusahaan BUMN dalam industri bisnis unggas. Kehadiran perusahaan negara, menurutnya sangat diperlukan. Pasalnya, nilai bisnis unggas dari hulu ke hilir saat ini sudah mencapai Rp450 triliun. Sayangnya, sekitar 80 persen dari nilai tersebut dikuasai oleh hanya dua perusahaan besar yakni Japfa dan Charoen Pokphand.

Untuk itu, ia mengharapkan ada BUMN yang masuk lewat pengadaan stok indukan dan kemudian membina para peternak mandiri. Dengan demikian, para peternak mandiri bisa bersaing dengam peternak mitra yang selama ini dibina dua perusahaan tersebut. "Agar ini jadi bisa lebih fair. Selama ini negara tidak bisa ngapa-ngapain, karena dikuasai perusahaan besar itu. Makanya mudah-mudahan ibu Rini Soemarno bisa cepat respon ini karena pak Menko kan sudah bilang," katanya


Namun ia mengelak jika kebijakan ini dinilai bisa mematikan sektor perunggasan swasta. Pemerintah, tegasnya, akan mendorong perusahaan ternak unggas agar mau menyalurkan produksinya ke pasar internasional. "Dan perusahaan tidak bisa protes karena ini menyangkut kepentingan rakyat, kepentingan peternakan kecil. Kalau ada penguasaan pasar, kita jawab dengan regulasi yang kuat," jelas Syarkawi.

Di samping itu, ia juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Kementerian BUMN karena sudah merespons cepat wacana ini. Ia melanjutkan, pembicaraan lintas instansi akan dilakukan lagi pada akhir bulan mendatang. "Kami akan coba bertemu tanggal 23 Mei mendatang," tutur Syarkawi.

Ditemui di lokasi yang sama, Menteri BUMN Rini Soemarno berharap bisa mempelajari wacana tersebut dalam waktu satu pekan ke depan. "Sudah akan presentasi dan kami akan melakukan perhitungan serta mempelajari secara keseluruhan. Kami diberi waktu seminggu oleh Pemerintah, dan ini upaya kami bagaimana harga ayam lebih terjangkau supaya bisa meningkatkan protein masyarakat," ujar Rini.

Sebagai informasi, Kementerian Pertanian mencatat konsumsi daging ayam Indonesia sebesar 10 kilogram (kg) per kapita per tahun. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Malaysia dan Singapura yang memiliki konsumsi ayam sebesar 25 kg per kapita per tahun.

No comments:

Post a Comment