Friday, May 13, 2016

Neraca Pembayaran Indonesia Kembali Alami Defisit

Bank Indonesia (BI) melaporkan defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal I 2016 sebesar US$287 juta menyusul turunnya penaman modal langsung dan investasi di pasar modal.  NIlai NPI tersebut anjlok dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencatatkan surplus sebesar US$5,1 miliar, maupun dibandingkan surplus triwulan yang sama tahun sebelumnya U$1,3 miliar.

Neraca transaksi berjalan yang masih defisit serta menyusutnya surplus neraca transaksi modal dan keuangan menjadi penyebab defisit NPI.  Pada periode Januari-Maret 2016, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) memang mengecil dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, yakni dari US$5,1 miliar atau 2,37 persen dari Produk Dometik Bruto (PDB) menjadi US$4,7 miliar atau 2,14 persen dari PDB. Namun, defisit tersebut melebar jika dibandingkan defisit kuartal I 2015 yang tercatat sebesar US$4,1 miliar atau 1,94 persen dari PDB.

Sementara itu, neraca transaksi modal dan finansial pada triwulan yang sama mencatatkan surplus sebesar US$4,2 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan surplus kuartal sebelumnya US$9,8 miliar dan surplus Januari-Maret 2015 yang sebesar US$ 5 miliar.

Endy Dwi Tjahjono, Direktur Departemen Statistik BI, mengungkapkan defisit transaksi berjalan menyusut berkat surplus neraca perdagangan barang yang meningkat, dari US$1,96 miliar menjadi US$2,78 miliar. Meningkatnya surplus neraca perdagangan terjadi akibat impor non migas yang anjlok lebih dalam dibandingkan penurunan ekspor non migas.

Surplus neraca nonmigas tercatat sebesar US$3,28 miliar, meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya yang positif US$2,9 miliar.  "Di sisi nonmigas sebenarnya kita ada perbaikan," ujar Endy di Kantor BI, Jakarta, Jumat (13/5). Sebaliknya, neraca perdagangan migas masih mengalami defisit sebesar US$800 juta, turun dibandingkan periode sebelumnya yang minus US$ 1 miliar. Endy mengatakan, melemahnya permintaan global dan anjloknya harga minyak mentah dunia menjadi faktor yang melemahkan ekspor dan impor minyak dan gas.

Selain itu, penurunan CAD juga disumbang oleh berkurangnya defisit neraca jasa mengikuti turunnya impor barang. Apabila kuartal sebelumnya defisit neraca jasa sebesar US$1,7 miliar, maka pada Januari-Maret 2016 menjadi minus US$1,1 miliar. "Karena impor turun, maka biaya-biaya pengangkutan kapal (freight) akan turun," ujarnya. Dari sisi transaksi modal dan finansial, Endy menjelaskan menurunnya surplus dipengaruhi oleh melemahnya investasi langsung dan portofolio serta investasi lainnya.

Investasi langsung pada kuartal I 2016 melemah seiring dengan menurunnya arus masuk modal asing. Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) tercatat melambat, dari 6,9 persen secara tahunan pada kuartal IV 2015 menjadi 5,57 persen. Sementara arus keluar investasi langsung dari sisi aset relatif stabil. Endy menambahkan, penurunan arus masuk kewajiban investasi langsung terjadi pada sektor nonmigas dan migas seiring turunnya harga minyak dan pembayaran laba yang ditanam.

Sedangkan surplus neto investasi portofolio tercatat lebih rendah dibanding kuartal IV 2015, dipengaruhi oleh arus keluar investasi portofolio. Lebih lanjut, investasi lainnya mencatatkan defisit terutama karena neto arus keluar investasi lainnya di sisi kewajiban. Kewajiban investasi lainnya mencatat defisit US$2,4 miliar terutama karena sektor bank tercatat melakukan pembayaran pinjaman luar negeri dan terjadinya arus keluar simpanan non residen perbankan domestik.

"Investasi lainnya ini adalah utang-utang, defisit karena kita lebih banyak membayar utang dibandingkan menarik utang. Ada kegiatan ekonomi yang melambat menyebabkan berkurangnya penarikan utang," ujarnya. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal I 2016 tercatat defisit US$287 juta. Hal itu membuat Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro berkukuh kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) harus diterapkan untuk memperbaiki kinerja NPI tahun ini.
“NPI kan defisit makanya sekarang kami terus memperbaiki, makanya perlu capital inflow(modal masuk), makanya perlu tax amnesty (TA),” tutur Bambang saat ditemui di kantornya, Jumat (13/5).

Sebelumnya BI melaporkan, defisit NPI kuartal lalu disebabkan oleh anjloknya surplus neraca Transaksi Modal dan Finansial (TMF) dari US$9,8 miliar pada kuartal IV 2015 menjadi US$4,2 miliar. Akibatnya suplus tersebut tidak mampu menutup defisit transaksi berjalan (TB) sebesar US$4,7 miliar.

Endy Dwi Tjahjono, Direktur Departemen Statistik BI mengungkapkan merosotnya kinerja TMF disebabkan oleh penurunan surplus investasi langsung dan portofolio seiring dengan melambatnya perekonomian. Selain itu, investasi lain-lain pada kuartal I 2016 mengalami defisit sebesar US$2,35 miliar. Padahal pada kuartal IV 2015, investasi lain-lain masih mencetak surplus US$2,48 miliar.

"Investasi lainnya ini adalah utang-utang. Tercatat defisit karena kita lebih banyak membayar utang dibandingkan menarik utang. Ada kegiatan ekonomi yang melambat menyebabkan berkurangnya penarikan utang," ujar Endy.

Tax amnesty, diyakini mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tersebut sebagai solusi insentif pengembalian aset (repatriasi) Warga Negara Indonesia (WNI) yang parkir di luar negeri. Pasalnya berdasarkan draf Rancangan Undang-undang Tax Amnesty, bagi aset hasil repatriasi, tarif tebusan pengampunan pajak hanya berkisar satu hingga tiga persen atau lebih rendah dibandingkan aset yang tidak direpatriasi, dua hingga enam persen.

Berdasarkan kajian BI, jika pemerintah menjalankan tax amnesty tahun ini, potensi dana masuk dari hasil repatriasi mencapai Rp560 triliun. Sebagai informasi, pembahasan tax amnesty akan dilanjutkan Dewan Perwakilan Rakyat pasca masa reses. Dijadwalkan, pembahasan akan dimulai pada 18 Mei mendatang.

No comments:

Post a Comment