Tuesday, May 20, 2014

Hutang Luar Negeri Perusahaan Swasta Capai 3 Ribu Triliun Rupiah

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung menyatakan bisa memahami kenapa nilai utang luar negeri swasta belakangan terus naik. "Kenapa? Karena kalau Indonesia pinjam dolar ke luar negeri, biayanya lebih murah dibanding meminjam rupiah di dalam negeri," kata dia di kantornya, Selasa, 20 Mei 2014. Pernyataan ini menanggapi data Statistik Utang Luar Negeri yang dirilis oleh Bank Indonesia kemarin. Per Maret 2014 tercatat utang luar negeri mencapai US$ 276,5 miliar atau sekitar Rp 3.155 triliun. Angka itu naik sekitar US$ 4,15 miliar bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 272,35 miliar.

Sebagian besar utang tersebut berasal dari swasta sebesar US$ 145,98 miliar. Sisanya bersumber dari pemerintah dan bank sentral yang mencapai US$ 130,5 miliar. Adapun rasio pembayaran utang (DSR) per kuartal pertama tahun 2014 ini sebesar 46,31 persen atau lebih tinggi ketimbang periode serupa tahun lalu yang sebesar 36,79 persen.

Lebih jauh, CT—begitu Chairul Tanjung sering disapa—menjelaskan, kenaikan utang luar negeri dari swasta ini juga akibat dari rasio penyaluran utang dari perbankan yang sudah terlalu tinggi. “LDR perbankan sudah lebih dari 90 persen, bank nasional juga terbatas dalam memberi pinjaman bagi dunia usaha,” tuturnya. Walhasil, kalangan swasta melirik utang luar negeri sebagai salah satu opsi yang paling realistis.

Meski begitu, menurut dia, Bank Indonesia terus menyampaikan kekhawatirannya terhadap mismatch pembayaran utang luar negeri oleh pihak swasta. Bersama dengan BI dan Otoritas Jasa Keuangan, pemerintah akan terus menggodok kebijakan untuk bisa mengatasi persoalan tersebut.

Hal berbeda disampaikan oleh Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri. Ia menyebut utang luar negeri Indonesia sejauh ini masih aman. "Relatif oke, capital inflow-nya masih terjadi," kata dia. Namun demikian, utang luar negeri tetap harus diperiksa karena banyak pihak swasta yang melakukan pinjaman tersebut.

Bank Indonesia mencatat utang luar negeri per Maret 2014 mencapai US$ 276,5 miliar atau sekitar Rp 3.155 triliun. Angka itu naik sekitar US$ 4,15 miliar bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 272,35 miliar.  Sebagian besar utang tersebut berasal dari swasta sebesar US$ 145,98 miliar. Sisanya bersumber dari pemerintah dan bank sentral yang mencapai US$ 130,5 miliar.

Mayoritas utang luar negeri itu berdenominasi dolar AS senilai US$ 191,1 miliar, lalu disusul oleh denominasi rupiah senilai US$ 37,9 miliar dan denominasi yen Jepang senilai US$ 30,6 miliar. Adapun negara pemberi utang terbesar adalah Singapura US$ 52 miliar, Amerika Serikat US$ 41,1 miliar dan Jepang US$ 35,1 miliar.
Berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia per Maret 2014 itu, sebagian besar utang luar negeri termasuk utang berjangka panjang atau dengan tenor lebih dari satu tahun senilai US$ 229,26 miliar. Sedangkan sisanya merupakan utang jangka pendek atau dengan tenor kurang dari setahun sebesar US$ 27,23 miliar.

Sepanjang kuartal pertama tahun ini, tercatat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 32,35 persen, atau lebih tinggi dibandingkan kuartal terakhir tahun lalu sebesar 30,37 persen.  Ketimbang kuartal pertama tahun 2013 yang mencapai 28,79 persen, pencapaian rasio utang di kuartal pertama tahun ini juga lebih tinggi.

Sebelumnya Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa (kini non-aktif) mewanti-wanti perusahaan swasta berpenghasilan dalam bentuk rupiah dalam mengambil utang berdenominasi valas. Menurut dia, jangan sampai terjadi kesahalan perhitungan dalam pengambilan utang. "Jangan sampai ada mismatch di sana. Tapi Bank Indonesia tentu sudah mengantisipasi hal itu," ucapnya pada akhir April lalu.

Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan jumlah utang luar negeri swasta yang terus membesar perlu diselidiki. "Utang US$ 141 miliar itu aman atau tidak," ujarnya, Kamis, 10 April 2014. Dia menjelaskan, untuk mempelajari tingkat keamanan utang, sumber pinjaman pengutang harus diketahui. Robert menuturkan, jika utang dilakukan ke induk perusahaan atau afiliasi, maka penggunaan utang bisa dikatakan jelas. Masalah lain, kata dia, apakah semua utang swasta itu diberi lindung nilai (hedge) atau tidak.

Sebab, kata Robert, utang akan berisiko jika pendapatan perusahaan dalam bentuk rupiah, tapi utangnya dalam bentuk valuta asing. Perusahaan semacam ini bakal menanggung beban atas melemahnya rupiah, bunga, serta kurs. Robert mengungkapkan bahwa pernah ada pemikiran untuk memformulasikan rasio utang dengan modal atau debt equity ratio (DER). "Misalnya equity perusahaan itu dua miliar, makadebt maksimalnya dua kali, supaya bisa mengerem," ujarnya. Yang dia khawatirkan adalah adanya perusahaan dengan jumlah pinjaman jauh lebih besar daripada equity.

No comments:

Post a Comment