Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia hanya memiliki 2 juta orang yang bekerja di sektor kelautan. Ironisnya, jumlah tersebut lebih kecil dari pada jumlah pengangguran saat ini.
"Sumber LIPI, Hanya 2,265 juta masyarakat Indonesia bekerja di sektor laut, itu lebih kecil dari pengangguran kita saat ini yaitu 7 juta orang tahun 2013," ujar Komandan Detasemen Markas (Dandenma) Mabes TNI Kolonel Laut Ivan Yulivan, Dan Denma, saat menjadi pembicara dalam diskusi "Krisis Identitas dan Kebangkitan Negara Maritim dengan Memperkuat Perhubungan Laut dan Udara di Jakarta, Sabtu (17/5/2014).
Ivan menjelaskan, kecilnya jumlah pekerja disektor kelautan merupakan cermin realitas bangsa yang lebih mementingkan pembangunan darat dari pada laut. Padahal menurutnya, kodrat bangsa Indonesia adalah bangsa maritim. Pengembangan ekonomi maritim menurutnya bisa berkembang jika 7 juta orang yang tidak memiliki pekerjaan tersebut dialihkan ke sektor kelautan.
"Bayangkan jika 7 juta itu disalurkan untuk bekerja di sektor kelautan, pasti kita bisa kembangkan maritim kita," katanya. Selain itu, Ivan juga menunjukan data-data mengenai jumlah pelabuhan yang bisa dilabuhi yang hanya 104. Jumlah tersebut sangat kecil dibandingankan jumlah pulau di Indonesia yang mencapai 17.000 pulau.
Di bidang Maritim, selain menyoroti jumlah armada kapal dan pesawat TNI yang jumlah dan teknologinya tidak sesuai dengan kebutuhan luas wilayah Indonesia, dia menyoroti jumlah marinir hanya sekitar 17.000. Menurutnya jumlah tersebut tidak mencukupi untuk menjaga keamanan dan ketahanan nasional di pulau-pulau Indonesia yang berjumlah 17.504. Dengan jumlah marinir tersebut, maka rata-rata satu pulau di Indonesia hanya dijaga 1 marinir.
Ribuan pelaut Indonesia yang selama ini bekerja di kapal-kapal asing terancam menganggur jika pemerintah tak kunjung meratifikasi Konvensi Pekerja Maritim Organisasi Perburuhan Internasional. Konvensi ini mengatur standar kerja dan kehidupan minimum pelaut yang berlaku di seluruh dunia sejak Agustus 2013.
Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi mengatakan hal ini di Jakarta, Kamis (23/1/2014). Konvensi yang ditetapkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2006 ini bertujuan melindungi sedikitnya 1,5 juta pelaut di seluruh dunia yang berperan penting terhadap kelancaran perdagangan internasional.
”Nama baik Indonesia akan tercoreng di mata internasional dan mengganggu perekonomian nasional jika konvensi ini tak kunjung diratifikasi. Kapal yang berlayar ke luar negeri harus punya sertifikat sesuai ketentuan konvensi dan peluang kerja pelaut Indonesia di kapal asing pun tertutup,” kata Hanafi.
Sebanyak 56 negara anggota ILO telah meratifikasinya, termasuk Singapura dan Filipina. Singapura meratifikasi konvensi untuk meningkatkan jumlah armada pelayanan dan langsung membuka pendaftaran kapal dari negara lain yang belum meratifikasinya.
Filipina, sebagai negara pemasok buruh migran terbesar dunia, meratifikasi konvensi tersebut untuk mempertahankan lapangan kerja warga negara mereka di luar negeri. Menurut Hanafi, yang juga Ketua Federasi Pekerja Transportasi Internasional Asia Pasifik, kelambanan pemerintah meratifikasi konvensi bisa memicu mutasi armada pelayaran berbendera Indonesia ke negara lain.
”Sudah sejak tahun 2006 kami menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menteri terkait menyampaikan tentang pentingnya ratifikasi konvensi tersebut. Sayang, sampai sekarang pemerintah belum menanggapi serius,” kata Hanafi.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ruslan Irianto Simbolon mengatakan bahwa pihaknya masih berkoordinasi dengan sejumlah pihak mengenai konvensi tersebut
No comments:
Post a Comment