Anda mungkin masih ingat quotes dari Alexander Graham Bell, bunyinya begini, “Where one door closes, another opens; but we often look so long and so regretfully upon the closed door that we do not see the one which has opened for us.”
Artinya lebih kurang begini, “Kita ini selalu saja mempersoalkan kesulitan (rintangan, satu pintu yang menghalangi kita, dan tertutup). Padahal, ketika satu pintu tertutup, ada banyak pintu-pintu lain yang masih terbuka. Ada banyak jalan yang bisa kita tempuh.”
Begitulah gambaran Indonesia dewasa ini. Banyak kesempatan tak bisa dilihat karena mereka hanya menunggu dan mengumpat di depan pintu yang tiba-tiba tertutup. Bagi mereka, selalu saja ada jawabnya. Kira-kira beginilah jawaban mereka:
“Maaf itu bukan area saya.”
“Anggaran tidak ada/belum turun.”
“Saya mau, tetapi menteri yang lain tidak mau menjalankan.”
“Pemimpinnya tidak ada.”
“Ini melanggar aturan.” Atau, “Ini sesuai dengan aturannya, yaitu tidak boleh!”
“Saya tak punya wewenang.”
“Koordinasinya panjang.” Dan seterusnya.
Itulah kalimat yang biasa kita dengar beberapa tahun belakangan ini, baik di pemerintahan maupun perusahaan. Indonesia sesungguhnya bukan miskin entrepreneur, tetapi miskinentrepreneurship. Kalau jumlah pelaku di sektor informal, menurut Kementerian UMKM dan Koperasi, sudah mencapai lebih dari 57,5 juta, artinya apa kalau bukan meledaknya minat berwirausaha?
Tetapi maaf, banyaknya kalimat yang diungkapkan yang seakan menunjukkan negeri ini payah dan lebih menekankan pada masalah, sesungguhnya cerminan dari miskinnyaentrepreneurship: daya dobrak, daya tembus, dan kegigihan membuka pintu.
JKnomics
Beberapa tahun yang silam kita pernah mendiskusikan mantan wakil presiden dari Indonesia timur: Jusuf Kalla. Kita terkaget-kaget, betapa banyak pintu tertutup bisa dibuka begitu cepat oleh JK. Beberapa wartawan menyebut itu sebagai JKnomics. Namun, karena belum terbiasa melihat aksi entrepreneurship dalam panggung pemerintahan, cara yang ditempuh JK sering disambut dengan kebingungan. Bahkan ada yang khawatir akan diselewengkan.
Seiring waktu berjalan, saat ini kita kembali sangat merindukannya. Saya sendiri selalu mengamati langkah pemimpin-pemimpin yang cara bekerjanya mirip JK. Dan itu sesungguhnya juga ada di kaki-tangan dan hati sejumlah calon presiden, apakah itu Prabowo Subianto, Joko Widodo, ataupun Dahlan Iskan. Mereka adalah entrepreneur dengan kombinasi yang berbeda-beda: militer, jurnalistik, dan pemerintahan. Mereka adalah pendobrak pencari pintu keluar yang tak pernah letih menyusuri jalan-jalan baru dan mengajak keluar dari kesulitan.
Bagi saya, kalau ditanya, "What is JKnomics?", maka jawabnya sederhana: Selalu ada pintu keluar dari segala kesulitan. Sewaktu saya tanya pada kerabatnya di Makassar, pengusaha Aksa Mahmud menyebutnya sebagai “saudagar” yang berarti “manusia dengan seribu akal.”
Anda yang tak terbiasa, bisa saja mengolok-ngoloknya sinis dengan mengatakan, “Ah itu kan akal-akalan, nanti kita diakal-akali.” Stop! Nanti dulu, sebenarnya itulah yang terjadi di sini yang tengah dilakukan bangsa-bangsa asing: menguras kekayaan alam dan geografis Indonesia. Ini terjadi karena kita dikuasai oleh kelompok orang yang “mudah mati akal”.
JK, Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Dahlan Iskan sudah kenyang bermain dalam dunia usaha yang medannya penuh kompetisi dan membutuhkan kecepatan bertindak serta kecermatan menghadapi risiko. Mereka mendapatkanentrepreneurship dari pengalamannya sebagai entrepreneur. Sudah pasti mereka menginginkan perubahan, dan sama-sama gelisah menyaksikan birokrasi yang lumpuh, yang boros, dan selalu “menutup pintu” atau bahkan menyatakan “pintunya sudah tertutup”, “tak ada pintu yang terbuka lagi”.
Itulah constraint-based thinking, yang muaranya adalahbureaucratic leadership, bukan entrepreneurial leadership.
Lantas seperti apa entrepreneurial leadership yang kita tunggu-tunggu itu. Kalau kita mau belajar dari JKnomics, maka lebih kurang intinya begini.
Pertama, perencanaan itu berawal dari sebuah tindakan. Ini berarti membalikkan semua peradaban lama yang kita anut di era Bappenas—Wijoyonomics. Jadi, awalnya bukan sebuah rencana besar yang mengikat dan lengkap, melainkan sebuah ketukan pintu. Dari small action itu, pemimpin akan menemukan realita besar, yang baru kemudian dituangkan dalam sebuah rencana yang disempurnakan secara bertahap dan adaptif.
Kedua, metode pendidikan pun perlu mengikuti ritme baru ini. Dari teori-teori-teori (kertas-kertas-kertas) ke praktik di akhir sekolah (think then action), menjadi: praktik-praktik yang menyenangkan, lalu baru berteori atau menyusun rencana (action then think).
Ketiga, micromanaging bukan lagi hal yang tabu atau remeh. Justru di saat negeri dikuasai mental berpikir yang terkotak-kotak, dengan birokrat dan politisi sebagai raja-raja kecil yang menguasai anggaran, pemimpin justru harus memeriksa dan mengawal program sampai ke lapisan paling bawah. Artinya, pemimpin tak boleh hanya duduk manis di kursi empuknya. Ia harus turun sampai ke gorong-gorong yang kotor, memeriksa apakah semua bisa berjalan. Sebab, apa pun juga, ekonomi adalah soal kesejahteraan, dan yang perlu diperjuangkan itu ada di lapisan paling bawah.
Keempat, koordinasi harus dipimpin dengan tangan besi yang kuat. Sebab, horizontal alignment, yang menyatukan satu jajaran ke samping, benar-benar tidak bekerja di negeri ini. Semua pejabat dan politisi lebih gemar menjadi penjaga palang pintu rel kereta api yang “memungut pajak jalan” ketimbang menjadi pengatur lalu lintas yang setia kepada pelayanan umum. Mentalitas melayani dibangun dengan kekuatan berkoordinasi, yang gesit dan siap mengganti bila mereka tetap menutup pintu.
Kelima, kaya dengan gagasan-gagasan baru, berani mengeksplorasi peluang-peluang baru, berpihak pada kepentingan rakyat secara luas, merangkul perbedaan, dan membangun platform baru yang berbasiskan kompetensi dan kinerja.
Dan terakhir, berani menghadapi tekanan-tekanan yang muncul akibat resistensi dan gejolak perlawanan, karena terusiknya kenyamanan dan kepentingan-kepentingan. Ini akan banyak dihadapi dalam masa-masa sulit ke depan, seperti penghapusan subsidi BBM. Di mana selama ini pemerintah berkeyakinan pada asumsi lama bahwa subsidi mampu menekan inflasi.
Fakta-fakta baru justru menemukan subsidi BBM menjadi beban ekonomi, mengganggu kemandirian, dan menimbulkan kenyamanan semu. Karena sifatnya yang non renewable, fossil fuel policy harus bisa diarahkan pada pencarian sumber-sumber energi terbarukan, bukan menjarah alam yang tak tergantikan.
Artinya, bangsa ini harus lebih siap beradaptasi ketimbang hidup dalam inertia yang menghimpit. Itu sebabnya, kita masih memerlukan pemimpin dengan spirit of entrepreneurship yang kuat, yang bisa kita pelajari dari JK.
No comments:
Post a Comment