Kalangan pengusaha menegaskan keinginan buruh meminta kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 30% di tahun 2015 tidak masuk akal.
Tuntutan yang tinggi itu makin tak masuk akal karena ada permintaan tambahan Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seperti TV LED hingga uang nonton bioskop. Hal ini membuat Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy geleng-geleng kepala, sebagai tanda heran dan tak setuju.
"Kalau semua menjadi tanggung jawab kita, pusing kita," kata Ernovian sambil menggelengkan kepalanya saat ditemui di Restoran Seribu Rasa Jakarta, Selasa (6/05/2014). Menurut Ernovian, keinginan buruh meminta kenaikan UMP 30% tahun depan hampir pasti tidak mungkin dipenuhi dunia usaha. Ia juga menilai komponen-komponen KHL saat ini yang mencapai 60 item masih relevan dan tidak perlu dilakukan penambahan hingga 84 item.
"Buruh minta upah 30% tidak masuk akal lah. Jelas banget berat. Untuk KHL, kita sudah penuhi kemarin (tahun lalu) 60 KHL," imbuhnya. Ia menjelaskan seharusnya buruh lebih meningkatkan kemampuan daripada terus-terusan berdemo meminta kenaikan upah. Pasalnya di tahun 2015 mendatang, Pasar Bebas ASEAN mulai diberlakukan. Itu artinya perdagangan barang dan jasa dapat dilakukan secara bebas di kawasan ASEAN.
Tiap tahun itu upah selalu naik tetapi skill pernah nggak di-upgrade, nggak pernah kan. Kesejahteraan itu relatif jadi mendingan ngomong yang riil saja. Karena menurut pengusaha, buruh itu sudah kaya dan pengusaha yang miskin karena terus dimintai kenaikan upah.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai, buruh sektor formal di Indonesia sudah masuk dalam kategori sejahtera karena sudah bisa makan, minum dan membeli pakaian. Tapi tidak untuk sektor informal. Wakil Ketua Kadin Bidang Kebijakan Publik, Fiskal, dan Moneter Hariyadi Sukamdani mengungkapkan, buruh di sektor formal dinilai sejahtera karena secara kebutuhan dasar mereka sudah terpenuhi.
"Di Indonesia untuk upah buruh sudah layak dari segi UMP (upah minimum provinsi). Selain dari UMP juga diberikan jaminan sosial dan kesehatan, dan dibayarkan porsi terbesar dari pengusaha, buruh hanya bayar sebagian kecil saja. Kesehatan, pensiun juga tercover sehingga kesejahteraan rakyat tidak ada masalah untuk sektor formal,” ungkap Hariyadi di Jakarta, Kamis (1/5/2014).
Namun, Hariyadi menjelaskan, kesejahteraan buruh di sektor formal ini tidak diimbangi dengan buruh di sektor informal yang dinilainya masih sangat jauh dari sejahtera. Masalah ketidaksejahteraan buruh di sektor informal tak lain, karena mereka tidak mendapatkan jaminan sosial dan kesehatan. Jaminan tersebut menjadi salah satu penunjang kesejahteraan buruh di Indonesia.
"Menurut aturan yang ada kesejahteraan buruh harusnya sudah tercover, kebutuhan dasar harus sudah terpenuhi. Masalahnya untuk pengusaha kelas menengah ke bawah mereka tidak bisa mengimbangi permintaan para buruh yang selalu meminta kenaikan upah," terangnya. Tak hanya itu, pemerintah juga perlu memberikan jaminan kepada masyarakat melalui ketersediaan lapangan pekerjaan di sektor informal.
"Tidak semua buruh sejahtera, yang sejahtera hanya sektor formal saja, sementara sektor informal belum sejahtera, salah satu penyebabnya karena pemerintah tidak tegas menjamin keberlangsungan bagi masyarakatnya melalui penyediaan lapangan kerja. Kalau mau sejahtera ya harus membuka peluang sektor informal," kata dia.
Hariyadi menambahakan, saat ini porsi pekerja di Indonesia mayoritas masih didominasi pekerja infomal, sektor formal hanya menempati 30-35% dari seluruh pekerja yang ada. "Saat ini porsi pekerja sektor formal menempati 30-35% dari seluruh pekerja yang ada artinya masih banyak kesenjangan dari pekerja sektor informal yang memang belum bisa dikatakan sejahera, nggak ada jaminan sosial, ini pemerintah harus bisa memikirkan itu," tandasnya.
No comments:
Post a Comment