“Dalam waktu dekat akan bertambah 80 pasar, berarti totalnya jadi 200 pasar tradisional yang tertib ukur,” kata Bayu Krisnamurthi saat menjadi pembicara kunci dalam seminar nasional Metrologi Legal di Surakarta, Selasa, 20 Mei 2014. Nah, bila di tiap pasar tradisional terdapat rata-rata 3 ribu alat timbangan, artinya total ada 30 juta alat timbangan di seluruh pasar tradisional di Indonesia. Dikurangi dengan jumlah pasar tradisional yang tertib ukur, diperkirakan ada sekitar 29,4 juta alat timbangan yang tak sesuai dengan ukuran sebenarnya dan harus ditera ulang.
Bayu menjelaskan, selama ini tera ulang alat timbangan di pasar tradisional terkendala keterbatasan sumber daya manusia. Kementerian Perdagangan pun tidak sanggup menyelesaikannya dalam waktu singkat. “Kami harus melayani 10 ribu pasar tradisional di 400 kabupaten dan kota di 17 ribu pulau,” tuturnya. Adapun Direktur Metrologi Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, Kementerian Perdagangan, Hari Prawoko, mengakui kekurangan sumber daya manusia yang kompeten. “Negara-negara lain di ASEAN sudah lebih siap,” katanya.
Selain kendala SDM, dia mengatakan laboratorium kalibrasi masih terpusat di pulau Jawa. Padahal idealnya, kata Hari, laboratorium itu tersebar di berbagai daerah untuk meningkatkan pelayanan kemetrologian. Hanya enam dari 169 pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah memiliki peralatan penimbangan barang terstandardisasi. Keenamnya ialah Pasar Sambilegi di Kabupaten Sleman, Pasar Sentolo di Kabupaten Kulonprogo, Pasar Argosari di Kabupaten Gunungkidul, Pasar Imogiri di Kabupaten Bantul, serta Pasar Prawirotaman dan Pasar Lempuyangan di Kota Yogyakarta.
"Baru pasar-pasar ini yang memiliki sertifikat bertanda tera sah atau sistem alat penimbangan barang pedagangnya sudah terstandardisasi oleh Balai Metrologi," ujar Kepala Balai Metrologi Dinas Perindustrian DIY, Sudaryono, di sela pembukaan Forum Metrologi Legal Asia Pasifik ke-20 di Hotel Royal Ambarukmo, Kamis, 7 November 2013.
Sudaryono mengatakan, minimnya pasar tradisional yang memiliki predikat tertib ukur menandakan praktek kecurangan pedagang untuk mengakali pembeli masih banyak terjadi. “Padahal praktek memanipulasi berat barang merupakan salah satu penyebab kenaikan harga barang," ujar dia. Kebanyakan praktek kecurangan di pasar tradisional, menurut Sudaryono, masih seputar memberi pengganjal di alat timbangan untuk menambah berat barang yang sebenarnya lebih ringan. “DIY masih butuh waktu lama untuk menjadi kawasan tertib ukur,” katanya.
Direktur Metrologi Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Hari Prawoko, mengatakan belum banyak pemerintah daerah memberi perhatian terhadap perbaikan sistem alat ukur di kawasannya. Menurut dia, baru ada tujuh kota di Indonesia yang berstatus tertib ukur. "Baru Batam, Surakarta, Singkawang, Balikpapan, Bontang, Tarakan, dan Mojokerto," ujar Hari.
Menurut Hari, sektor penting yang butuh standardisasi alat ukur di daerah ialah listrik, gas, air, dan pasar, serta perdagangan komoditas penting semacam minyak sawit. Dia berpendapat, penertiban alat ukur di pasar layak menjadi perhatian sebab praktek kecurangan penimbangan berpengaruh terhadap inflasi. "Akumulasi kecurangan dalam menimbang barang menyebabkan inflasi," ujar dia.
Bahkan dalam pertemuan ini dibahas soal pengukuran nilai pulsa yang dikenakan olehprovider terhadap pemakai frekuensi selulernya. "Selama ini pengukur pulsa belum ada, jadi metrologi bukan hanya bahas isu soal volume," kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krishnamurti.
No comments:
Post a Comment