"Ya, karena memang tidak pernah dimulai kan," ujar dia di kantornya, Senin, 3 November 2014. Sofyan mengatakan, sejak proyek tersebut dimunculkan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), banyak kalangan yang menilai pesimis rencana jembatan terpanjang di dunia itu bakal terwujud.
Biaya pembangunan jembatan itu dianggap terlalu besar, di sisi lain dampak yang dihasilkan terhadap sektor kemaritiman dianggap minim. "Itu masih ide dan wacana. Dan memang belum memutuskan go a head juga sejak dulu," kata Sofyan.
Seperti diketahui pembangunan JSS yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera diperkirakan memakan waktu 10 tahun. Jika proyek dimulai 2013, dengan studi kelayakan selama 2 tahun, maka pembangunan JSS akan selesai pada tahun 2025.
Pemerintah tidak memasukkan proyek Jembatan Selat Sunda dalam rencana pembangunan infrastruktur. Alasannya, mega proyek senilai lebih Rp 225 triliun itu dianggap tidak selaras dengan visi misi Presiden Joko Widodo. "JSS itu menghilangkan identitas maritim. Sampai sekarang tidak pernah ada pernyataan dari Presiden akan memasukkan JSS ke program infrastruktur," kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof A. Chaniago,.
JSS, menurut Andrinof, dianggap dapat menghilangkan identitas maritim karena akan mengurangi aktivitas penyeberangan melalui laut di Selat Sunda. Padahal, frekuensi penyebrangan melalui Selat Sunda baik skala domestik maupun internasional sangat tinggi dan telah memperkuat identitas Indonesia sebagai negara maritim.
Ketimbang membangun JSS, kata Andrinof, pemerintah lebih memilih memperbaiki infrastruktur Pelabuhan Merak, Banten, dan Pelabuhan Bekaheuni, Lampung, serta merevitalisasi moda transportasi laut yang melintas di Selat Sunda. "Lebih baik meningkatkan kualitas dermaganya. Jika memang kurang akan ditambah," ujar dia.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan pemerintah memiliki banyak pertimbangan dalam proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda. Selain dari sisi teknis, ujar dia, pembangunan megaproyek ini juga dilihat dari dampak ekonominya.
"Kalau kami bangun Jembatan Selat Sunda, berarti kami membangun Jawa dan Sumatera saja, lalu bagaimana dengan Indonesia timur?" tutur Basuki saat ditemui di ruangannya, Selasa, 4 November 2014. Sebagai kementerian yang mengurusi teknis pembangunan, Basuki menyatakan siap mengikuti arahan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bapenas) ihwal kelanjutan megaproyek tersebut.
Basuki mengatakan rencana menghentikan proyek Jembatan Selat Sunda hingga kini belum dibahas dalam rapat Kabinet Kerja. Menurut Basuki, Bappenas menyatakan megaproyek ini tidak dilanjutkan. Dan ia siap mengikuti arahan tersebut.
Basuki berujar, selain syarat teknis, sebuah proyek infrastruktur baru bisa dilaksanakan jika memenuhi beberapa syarat, yakni diterima secara politik-sosial serta layak secara ekonomi dan finansial. "Sekarang, meski secara teknis sudah siap, jika secara politik sudah diputuskan untuk tidak diteruskan, maka akan kami ikuti."
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil memastikan pemerintah tidak akan melanjutkan pembangunan megaproyek Jembatan Selat Sunda. Penghentian proyek senilai Rp 200 triliun tersebut disebabkan oleh banyak pertimbangan, salah satunya tidak selarasnya dengan konsep kemaritiman yang digagas Presiden Joko Widodo saat ini. "Memang tidak pernah dimulai," tuturnya di kantornya, Senin, 3 November 2014.
Sofyan mengatakan, sejak proyek tersebut dimunculkan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak kalangan yang pesimistis jembatan terpanjang di dunia itu bakal terwujud.Andrinof juga menilai, kapal-kapal yang digunakan untuk menyeberang dari Jawa ke Sumatera dan sebaliknya harus direvitalisasi. Selama ini, menurut dia, aktivitas penyeberangan sering terhambat karena kualitas kapal yang sangat tidak memadai.
Selain itu, Andrinof menuturkan, pembangunan JSS justru dikhawatirkan akan menambah sentralisasi ekonomi di Jawa dan Sumatera. Sehingga, kata Andrinof, JSS dapat menambah tingkat ketimpangan ekonomi antara Jawa, Sumatrera, dengan daerah-daerah di Indonsia Timur.
"Kami juga harus menghilangkan paradoks dalam merencanakan proyek-proyek pembangunan. Katanya mau pemerataan, tapi malah bikin megaproyek yang mensentralisasikan ekonomi." Andrinof mengatakan, setelah pembangunan di Kawasan Indonesia Timur terealisasi, seperti Jembatan Soekarno di Sulawesi, dan kawasan industri di Kalimantan, rencana pembangunan JSS baru dapat dijajaki kembali. "Kira-kira sekitar 10-15 tahun dari sekarang, baru dijajaki lagi," ujarnya.
No comments:
Post a Comment