Indonesia merupakan negara dengan konsumsi beras terbesar di Asia Tenggara. Ditambah dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia akan menghadapi serbuan beras impor. Beras memang menjadi salah satu komoditi lokal yang harus bersaing di era pasar bebas Masyarakat ASEAN 2015.
Konsumsi beras di negeri ini sekitar 139,5 kilogram/kapita/tahun, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 80 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun, dan Korea yang sekitar 40 kg/kapita/tahun.
Kebutuhan beras dalam negeri yang terus meningkat seharusnya juga diimbangi dengan peningkatan kualitas. "Pemerintah memang harus mendorong pengolahan beras berkualitas agar bisa bersaing di pasar bebas," kata Prof.Djoko Said Damardjati, peneliti bidang pangan Badan Litbang Kementrian Pertanian, dalam acara temu media di Solo (5/11/14).
Djoko menjelaskan, varietas padi unggul yang ditanam di Indonesia 90 persennya adalah hasil benih yang dirakit oleh orang Indonesia. Misalnya saja varietas padi Ciherang, Cibogo, IR, Cimelati, dan sebagainya.
Padi yang tumbuh di Indonesia merupakan padi jenis Indica yang memang cocok hidup di negara tropis seperti Indonesia, India, dan Filipina. Jenis padi lain yang khas Indonesia sebenarnya adalah jenis Javanica. "Padi ini asalnya dari Pulau Jawa, padinya wangi dan pulen. Ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita ternyata adalah pemulia tanaman," katanya.
Padi Javanica saat ini masih dipelihara sebagai warisan leluhur dan ditanam terbatas. Harga beras padi ini tergolong mahal karena dalam satu hektar hanya menghasilkan 4 ton beras, jauh lebih sedikit dibanding padi Indica.
Salah satu produsen beras PT.Tiga Pilar Sejahtera (TPS) Food, terus melakukan terobosan untuk bisa bersaing dengan beras impor. Salah satunya adalah dengan membangun pabrik pengolahan beras dengan kapasitas produksi mencapai 40.000 ton perbulan, sampai membangun merek beras dalam kemasan premium.
"Walau pun makanan pokok orang Indonesia, tapi beras masih dianggap seabgai komoditi, padahal dalam bentuk komoditi sulit dikontrol kualitasnya mulai dari sejak dipanen sampai dinikmati di meja makan," kata Direktur Pemasaran Beras TPS Food, Chris Oey.
Chris mengatakan, produk beras cap Ayam Jago produksinya, melakukan campuran varietas unggul di Indonesia untuk menghasilkan beras yang disukai konsumen, yakni beras yang pulen dan wangi.
"Produk kami merupakan campuran beberapa varietas, tapi apa saja varietasnya itu adalah rahasia dapur kami. Tapi intinya komposisinya dicari yang pas sehingga akan menghasilkan beras yang pulen tapi tidak terlalu lembek," ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja melaporkan inflasi September 2014 cukup rendah 0,27 persen. Meski demikian, komoditas beras kembali menjadi faktor penyumbang inflasi dengan andil sebesar 0,02 persen.
Menurut Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo, kenaikan harga beras lebih disebabkan karena spekulasi pasar.
“Sebetulnya karena ekspektasi. Pasar melihat ARAM 1 BPS, berekspektasi produksi menurun, sehingga mereka mempertahankan harga tinggi. Kecuali dalam beberapa bulan ke depan ada lompatan perbaikan peningkatan produksi entah bagaimana caranya,” kata Sasmito, Jakarta, Rabu (1/10/2014).
Dia menjelaskan, sebetulnya impor beras dari Januari-Agustus 2014 ini sangat kecil hanya 200.000 ton, dari konsumsinya yang diperkirakan mencapai 26 juta ton. Artinya, selama itu, produksi diperkirakan mencukupi kebutuhan domestik.
Namun, beras justru menjadi salah satu penyebab utama inflasi September 2014. “Kemungkinan karena prediksi BPS. ARAM 1 kan menyiratkan terjadi penurunan produksi beras di 2014 ini. Itu yang nampaknya dipegang oleh para pedagang beras,” tutur Sasmito.
Ekspektasi ini terlihat dari kenaikan harga gabah kering panen (GKP) pada bulan ini sebesar 2,69 persen dibanding Agustus 2014, menjadi sebesar Rp 4.2828,54 per kilogram di tingkat petani, dan menjadi sebesar Rp 4.369,26 per kilogram di tingkat penggilingan.
Sebagai informasi, BPS memprediksikan produksi padi pada 2014, berdasarkan ARAM 1 hanya mencapai 69,87 juta ton. Hal tersebut berarti terjadi kontraksi penurunan sekitar 2 persen dari tahun lalu. Sementara pada saat bersamaan ada efek El Nino yang harus diantisipasi.
No comments:
Post a Comment