Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla diharapkan bisa merancang strategi jangka menengah untuk melakukan lompatan besar pembangunan, seiring dengan makin tertinggalnya pendapatan per kapita penduduk Indonesia jika dibandingkan negara berkembang lainnya di kawasan Asia.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini menjelaskan, jika membandingkan dengan negara-negara sesama Asia yang mengawali pembangunannya pada saat yang sama, yakni tahun 1960an, maka posisi Indonesia hampir sama dengan negara-negara itu.
"Tapi saat ini Indonesia ditinggal jauh oleh Singapura, Korea Selatan, dan bahkan Malaysia. PDB per kapita Indonesia telah disusul China dan sekarang sedang dikejar oleh Vietnam," kata Hendri dalam presentasinya bertajuk 'Indonesia 2015 and Beyond: Reinventing Economic Priorities', Jakarta, Kamis (6/11/2014).
Namun demikian, Hendri menambahkan, selain perlunya melakukan lompatan pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga perlu menekan kesenjangan. Dalam sepuluh tahun terakhir, PDB per kapita Indoensia telah meningkat dari 1.076 dollar AS menjadi 3.475 dollar AS. Namun demikian kesenjangan pendapatan pada periode yang sama justru makin lebar.
Menurut Hendri, indikator kesenjangann ini tidak boleh dilepaskan dari penyusunan RPJMN. "Bagaimana RPJMN, pembangunan tidak menyisakan hal-hal seperti ini, inequality," tukas Hendri. Dalam seminar Kajian Tengah Tahun Indef 2014 bertajuk Pembaruan Ekonomi atau Status Quo?, pengamat ekonomi, Faisal Basri, menyerukan untuk tidak memilih pasangan capres-cawapres yang Partai Demokrat menjadi koalisi di dalamnya.
Hal itu ia sampaikan setelah memaparkan "prestasi" yang diukir selama dua periode pemerintahan SBY. Akademisi Universitas Indonesia itu menuturkan, jatuh bangunnya perekonomian Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal.
"Gara-gara SBY, tren jangka panjang kita menurun. Kalau sesuai RPJMN-nya, dia seharusnya ini (PDB) naik, tapi ini declining. Indonesia kini declining trap," katanya di Jakarta, Kamis (26/6/2014).
Awalnya, kata Faisal, Indonesia memulai PDB yang tidak terlalu berbeda dari negara tetangga. Namun, dalam satu dekade ini, Korea Selatan mengalami kenaikan luar biasa, disusul Tiongkok. Bahkan, kini Timor Leste juga telah menyalip Indonesia.
Dia menyatakan, pendapatan per kapita Indonesia lebih rendah beberapa ratus dollar AS dibanding Timor Leste. Di samping indikator PDB, Faisal juga menyindir soal ketimpangan yang semakin tinggi. "Kemiskinan turun, tetapi 20 persen terkaya naik juga. Ketimpangan naik 20 persen. Makanya, jangan mau status quokalau kata Indef. Kalau mau status quo pilih SBY dan teman-temannya," kata Faisal.
Pertumbuhan pendapatan antara si kaya dan si miskin semakin timpang. Faisal menunjukkan, dari 100 kelompok penghasilan masyarakat, pertumbuhan pendapatan orang-orang kaya luar biasa. "Yang sini (kaya) naiknya segini, yang miskin segini. Ini seperti F1 banding bemo," katanya.
Di sisi lain, perekonomian Indonesia dinilainya semakin mengkhawatirkan. Indonesia dianggap sebagai pasar empuk untuk barang-barang luar negeri seperti mobil. Implikasinya, kebutuhan energi semakin besar, sementara saat ini produksi minyak mentah pun sudah defisit.
"Semua ini mengalami deselerasi. Oleh karena itu, harus ada regenerasi. Bener-bener harus revolusi mental memang," ujarnya.
No comments:
Post a Comment