Secara global, setelah pada permulaan dua kuartal tahun ini mengalami peningkatan optimisme, kepercayaan global justru turun tiga angka ke 90 poin.
Ini mengindikasikan hilangnya harapan konsumen di beberapa belahan dunia akan perbaikan ekonomi secara penuh.
Direktur Pengelola The Nielsen Company Indonesia Catherine Eddy dalam pemaparan hasil ”Survei Kepercayaan Konsumen Global Nielsen” di Jakarta, Kamis (28/10), mengatakan, tingkat kepercayaan konsumen di atas ataupun di bawah 100 menunjukkan derajat optimisme dan pesimisme konsumen.
Nilai 90 merefleksikan kenyataan bahwa sebagian besar konsumen di 53 negara tetap pesimistis tentang prospek pekerjaan, keuangan pribadi, dan kemampuan membeli barang yang diinginkan di tahun mendatang.
Survei dilaksanakan pada 3-21 September 2010 dengan jumlah responden 29.000 orang di 53 negara di Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Amerika Serikat, mengenai tingkat kepercayaan dan pandangan ekonomi.
Catherine menegaskan, ”Secara global, berita positif dan konsisten tak cukup banyak untuk mempertahankan outlook positif yang ditunjukkan konsumen pada awal tahun. Di Asia Pasifik justru yang terjadi sebaliknya,” ujar Catherine.
Dalam survei itu, juga terungkap soal persepsi responden tentang resesi ekonomi negaranya. Ketika ditanya apakah Anda pikir negaramu saat ini dalam kemunduran atau resesi ekonomi, 53 persen responden Indonesia menyatakan ”ya”, sedangkan sisanya 47 persen menjawab ”tidak”.
Konsumen kini lebih berhati- hati dalam membelanjakan uangnya. Negara-negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, menghemat kebutuhan rumah tangga dengan mengurangi belanja baju baru, mengurangi hiburan, menunda pembelian barang teknologi, serta berhemat untuk penggunaan listrik dan bensin. Konsumen Indonesia juga menghemat pengeluaran untuk penggunaan telepon.
Soal resesi ekonomi, Jepang dipandang lebih parah lagi karena 81 persen responden menyatakan, Jepang sedang resesi. Disusul, Korea Selatan (73 persen), Selandia Baru (70 persen), serta Filipina dan Taiwan masing-masing 59 persen.
Sementara Thailand (53 persen), Malaysia (46 persen), India (33 persen), Vietnam (31 persen), China (23 persen), Hongkong (22 persen), Australia (19 persen), Singapura (11 persen), serta negara- negara di Asia Pasifik rata-rata 39 persen.
Catherine mengatakan, walaupun resesi ekonomi diyakini terjadi, persepsi prospek pekerjaan menunjukkan tanda-tanda positif di sebagian besar negara, terutama Singapura dan Thailand, yang lebih dari 75 persen percaya prospek pekerjaan bagus.
”Untuk Indonesia, 61 persen yang merasa prospek pekerjaan bagus. Pada awal tahun 2010, kepercayaan responden masih 70 persen,” kata Catherine.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi secara terpisah memandang penurunan prospek pekerjaan diakibatkan keterlambatan pencairan anggaran belanja pemerintah.
Akibatnya, proyek pembangunan infrastruktur di daerah yang membuka lapangan pekerjaan ikut tertunda. ”Investasi padat karya kini tak banyak yang masuk. Investasi baru sebagian besar hanya terjadi di pasar modal. Bukan ke sektor riil yang membuka lapangan pekerjaan,” kata Sofjan.
Menurut dia, investasi baru juga terhambat karena keterbatasan penyediaan energi listrik. Akibatnya, industri sulit meningkatkan kapasitas produksi. Padahal, saat ini produk industri juga sedang menghadapi persoalan pelik berupa membanjirnya produk impor.
Sofjan menambahkan, investasi baru di bidang kelapa sawit pun kini tertunda tekanan isu-isu lingkungan dan moratorium. Kepastian usaha sesungguhnya bisa mendorong terbukanya pekerjaan.