Hal itu terungkap dalam diskusi ”Menyelaraskan Regulasi yang Mendukung Industri Properti” yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Daerah Real Estat Indonesia (REI) DKI Jakarta, Rabu (27/10).
Diskusi antara lain menghadirkan pengamat ekonomi Indef Aviliani, Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, dan Ketua Kehormatan REI Enggartiasto Lukita.
Aviliani mengatakan, struktur ekonomi masyarakat Indonesia saat ini didominasi sektor informal, yang mencapai 75 persen. Namun, pekerja sektor informal nyaris tidak terjangkau kredit perumahan.
Kendala utama masyarakat sektor informal dalam mengakses kredit perumahan adalah penghasilan yang tidak tetap. Hal ini juga menjadi persoalan bagi pengembang dalam menyediakan rumah.
Guna mendorong penyerapan rumah bagi sektor informal, ujar Aviliani, diperlukan terobosan skim pembiayaan dengan pola cicilan kredit harian atau disesuaikan dengan kemampuan pendapatan masyarakat.
Sigit Pramono mengemukakan, perbankan dalam posisi sangat siap untuk mengucurkan kredit. ”Meski demikian, bank cenderung berhati-hati dalam memberikan kredit bagi sektor properti,” ujar Sigit.
Ada kecenderungan di sejumlah negara, ujar Sigit, sektor properti menjadi pemicu krisis akibat gelembung (bubble) ekonomi yang ditimbulkan serta penyumbang kredit bermasalah terbesar.
Total kredit yang disalurkan perbankan hingga Juni 2010 telah mencapai Rp 1.600 triliun dengan rasio kecukupan modal (CAR) 18 persen dan kredit bermasalah (NPL) 3 persen.
Jumlah kredit yang sudah disalurkan ke sektor properti berkisar Rp 240 triliun atau 15 persen dari total kredit perbankan. Adapun pertumbuhan kredit sektor properti berkisar 7,53 persen per tahun.
Terobosan kredit untuk sektor informal di antaranya memberdayakan bank komunitas dan lembaga pembiayaan mikro. Hal itu di antaranya bank perkreditan rakyat atau BRI unit desa.
Bank komunitas umumnya menerapkan pola cicilan yang lebih fleksibel, yakni debitor dapat mencicil sesuai kemampuan atau tagihan harian meskipun suku bunga kredit dengan cicilan harian cenderung lebih tinggi daripada kredit umum.
Pola cicilan harian itu, jelas Sigit, sulit diterapkan oleh bank- bank umum yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia dan internasional.
Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengakui, sektor informal selama ini belum optimal terjangkau kredit perumahan. Pihaknya kini sedang mengkaji pembentukan tabungan perumahan kolektif bagi masyarakat sektor informal guna meningkatkan kelayakan kredit perbankan (bankable).
Mulai 1 Oktober 2010, pemerintah menggulirkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). FLPP berupa suku bunga kredit tetap sebesar 8,15 persen-9,95 persen selama 15 tahun.
Aviliani mengingatkan, subsidi bunga yang digulirkan pemerintah belum tentu menyelesaikan masalah perumahan sebab daya beli masyarakat menurun.
Selama tahun 1998-2008, tingkat inflasi 150 persen, tetapi peningkatan pendapatan tak sampai 150 persen. Sementara itu, harga tanah dan rumah terus meningkat. Harga tanah, misalnya, rata-rata mencapai 10 persen per tahun. Laju kenaikan harga itu menyebabkan konsumen berpenghasilan menengah ke bawah kesulitan menjangkau rumah di perkotaan.
No comments:
Post a Comment