Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Tubagus Haryono di Jakarta, Selasa (26/10), mengemukakan, pihaknya masih menunggu perubahan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang harga jual eceran BBM dalam negeri serta Perpres No 9/2006 tentang perubahan atas Perpres No 55/ 2005.
Perubahan perpres itu di antaranya akan mengatur pembatasan kriteria bobot kapal nelayan yang berhak mendapat BBM subsidi. Selama ini, semua kapal tangkap ikan dalam negeri diperbolehkan mendapat BBM subsidi.
”Harus disadari subsidi BBM adalah menggunakan uang rakyat, maka peruntukannya harus tepat sasaran,” ujar Tubagus.
BPH Migas dan Pertamina kini sedang mengkaji kebutuhan volume BBM subsidi bagi sektor perikanan. Besar kuota BBM subsidi itu mulai tahun 2011 direncanakan berkisar 900.000 kiloliter (kl)-1 juta kl per tahun.
Selama ini, kuota BBM subsidi untuk sektor perikanan rata-rata 1,5 juta kl per tahun. Setiap bulan, nelayan mendapat jatah BBM subsidi maksimum 25 kl.
Pengurangan jatah BBM subsidi sektor perikanan, ujar Tubagus, telah memperhitungkan kebutuhan BBM subsidi untuk nelayan dengan kapal ikan berbobot mati maksimum 60 ton.
Kuota BBM subsidi untuk sektor perikanan tersebut lebih rendah daripada usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebesar 2,5 juta kl per tahun. Kebutuhan itu meliputi 1.955.376 kl untuk nelayan dan 561.600 kl untuk pembudidaya ikan.
Adapun harga BBM subsidi nelayan mencakup bensin premium seharga Rp 4.500 per liter dan solar Rp 4.500 per liter.
Tubagus menilai kebutuhan BBM nelayan bervariasi, bergantung pada bobot kapal yang digunakan.
Untuk itu, dia meminta KKP menyerahkan data yang akurat mengenai jumlah nelayan dan kebutuhan riil BBM subsidi.
Dijelaskan, jumlah kapal nelayan berbobot mati di bawah 30 ton mencapai 343.000 unit. Sejumlah 193.000 unit di antaranya merupakan kapal motor tempel yang butuh sedikit BBM.
”Kebutuhan BBM subsidi bulanan tidak bisa disamaratakan untuk setiap kapal,” ujarnya.
Daya saing tergerus
Tubagus mengemukakan, pihaknya meminta Pertamina menambah stasiun penyalur BBM nelayan. Kekurangan lembaga penyalur BBM nelayan menyebabkan distribusi BBM subsidi kerap terhambat.
Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia Herwindo mengatakan, pengurangan alokasi BBM subsidi akan memukul daya saing sektor perikanan.
Dicontohkan, kapal ikan penangkap tuna yang berbobot mati di atas 100 ton membutuhkan BBM subsidi untuk melaut selama tiga bulan.
Apabila dikenakan BBM komersial, biaya produksi akan melonjak dan usaha menjadi tidak efisien. Padahal, persaingan dengan negara produsen semakin ketat.
”Pemerintah seharusnya mendukung usaha perikanan dengan menjamin kemudahan usaha. Tanpa perlindungan, sektor perikanan akan terpuruk,” ujar Herwindo.
Menurut Direktur Ocean Watch Herman Jaya, nelayan selama ini selalu didera kesulitan BBM. Di sejumlah sentra nelayan, pasokan BBM bersubsidi langka.
Jika pun tersedia, harga jual umumnya lebih mahal sehingga tidak terjangkau nelayan. Padahal, kebutuhan BBM menghabiskan 40 persen dari biaya operasional.
No comments:
Post a Comment