Halik Rudianto, masinis kereta api Argo Bromo Anggrek, dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian. Urusan selesai? Seolah-olah selesai setelah aparat negara mampu menemukan siapa yang bersalah. Pertanyaan yang muncul, akankah tabrakan kereta api tidak akan terulang lagi di negara ini?
Masih ingat tragedi tahun 2008, di mana Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) di Stasiun Labuhan Ratu, Lampung, bernama Sutrisno juga dipidana. Diasumsikan, karena kelalaian Sutrisno, KA Limex Sriwijaya dan lokomotif KA Batu Bara bertabrakan.
Dengan pemidanaan Sutrisno, terkesan diharapkan kecelakaan dan tabrakan kereta tak lagi terulang. Ironisnya, Sabtu lalu tabrakan kereta api yang cukup fatal kembali terjadi di Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah.
Maka, idealnya, jangan lagi sekadar ada pernyataan: yang bersalah harus bertanggung jawab. Mengapa? Karena tabrakan itu adalah kesalahan kita semua, tak hanya masinis. Inilah kesalahan operator, kesalahan regulator, bahkan kegagalan kita untuk berpikir makro bahwa perkeretaapian adalah hal penting di republik ini.
Lebih dalam, meminjam istilah dari Taufik Hidayat, pengamat kereta api dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ”Jangan pula terjebak dengan persoalan teknis perkeretaapian. Jangan berhenti di pemidanaan masinis”. Sebab tabrakan kereta mencerminkan kegagalan sistem perkeretaapian, bukan sesederhana urusan masinis tertidur.
Sebab andai benar masinis tertidur, di mana sistem cadangan keselamatan perkeretaapian? Kenapa dead man’s pedal tak otomatis menghentikan lokomotif? Kenapa wesel tidak otomatis mengarahkan KA Argo Bromo Anggrek ke jalur lain ketika jalur 3 telah diisi KA Senja Utama?
Andai pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan mengganti dead man’s pedal di lokomotif KA Argo Bromo Anggrek, memasang wesel baru, dan mengganjal semua mata masinis dengan korek api, apa lantas tiada tabrakan? Belum tentu. Boleh jadi nanti malam ada tabrakan kereta atau kereta terguling lagi.
Sebab tabrakan dan insiden perkeretaapian tak selesai dengan menyempurnakan jalur rel kereta, wesel, ataupun sinyal di Petarukan. Tak cukup dengan memperbaiki lokomotif CC 203 40, yang Sabtu (2/10) itu menghela KA Argo Bromo Anggrek.
Masih ada belasan lokasi lain yang butuh investasi besar. Harus ada dana untuk sistem wesel yang lebih canggih, teknologi baru seperti automatic train stop (ATS) di Jepang, di mana kereta otomatis mengerem ketika sinyal dilanggar. Dan uang itu harus uang pemerintah.
Kenapa butuh uang pemerintah bukan PT Kereta Api? Karena keterpurukan perkeretaapian sudah berlangsung lama dan masif sehingga harus ada megainvestasi. PT KA jelas tidak mampu, terlebih beberapa tahun terakhir pun kita mendengar backlog dana pemeliharaan kereta Rp 11 triliun, yang kini entah dicari dari mana untuk menutupinya.
Banyak orang juga bermimpi, seusai tragedi Petarukan, hari Minggu atau Senin kemarin, pemimpin atau pejabat negara mendeklarasikan ”revitalisasi kereta” yang sesungguhnya. Ternyata, tidak ada deklarasi apa pun soal kereta api.
Padahal, kritik atas revitalisasi perkeretaapian yang digulirkan Kementerian Perhubungan untuk periode tahun 2008-2010 itu kini menemui realitas pahitnya.
”Revitalisasi itu, suka atau tidak telah gagal. Faktanya, tiga bulan sebelum tahun 2010 ditutup, perkeretaapian tidak membaik, bahkan ada tabrakan,” kata Ketua Forum Perkeretaapian, Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno.
Jujur saja, ada program revitalisasi yang dinilai tak ”selaras” dengan kebutuhan PT KA. Namun, yang jelas dana revitalisasi Rp 19 triliun itu hanya manis di bibir sebab tak sepenuhnya cair. Dengan dana Rp 3 triliun-Rp 4 triliun per tahun, bagaimana membangun perkeretaapian yang andal?
Tentu saja, Kementerian Perhubungan tak punya uang. Anggaran kereta tahun 2010 hanya seperlima anggaran jalan. Tahun 2011, anggaran kereta juga hanya sepertujuh dana jalan.
Tidak adilnya pembagian anggaran itu merupakan bukti nyata negara ini gagal berpikir makro. Sepatutnya, Kementerian Keuangan membagi anggaran dengan lebih proporsional bagi kereta api, yang dianggap angkutan massal yang murah dan aman.
Selain dana, perkeretaapian Indonesia membutuhkan ”dirigen” untuk menggabungkan potensi bagi kebangkitan kereta.
Ada hubungan antara regulator dan operator yang perlu lebih diharmoniskan. Harus ada pula institusi antardepartemen yang menetapkan langkah aksi.
Di India, misalnya, Indian Railway tahu persis aksi-aksi untuk meminimalisasi kecelakaan setelah ada Corporate Safety Plan (2003-2013), yang disusun para ahli.
Tabrakan KA ambil contoh akan dihilangkan dengan anticollision device, yang dipandu global positioning system.
Dalam Corporate Safety Plan itu juga ditulis, ”Sesuai pengarahan Perdana Menteri, Indian Railways akan mengaplikasikan teknologi dalam keselamatan kereta bekerja sama dengan Kementerian Teknologi dan Konsorsium Teknologi”.
Teknologi adalah kata kunci. Bila ada sinergi, Indonesia dapat mencontoh India. Sebab ada Kementerian Riset dan Teknologi, industri strategis, seperti PT LEN Industri, PT Industri Kereta Api, Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi, serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Unsur dana, yang ditetapkan Kemkeu, dan keberadaan ”dirigen” adalah langkah nyata bila ingin kereta api bangkit.
Bila unsur-unsur itu tak dipenuhi dan selalu hanya masinis yang dijadikan kambing hitam untuk tiap tragedi tabrakan, lupakan saja kereta api bangkit di negeri ini.
No comments:
Post a Comment