Apa yang salah dengan kebijakan pembangunan pertanian? Mengapa peningkatan produksi tidak berkorelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan mayoritas masyarakat miskin, yang umumnya petani?
Mengapa peningkatan anggaran sektor pertanian tidak juga berarti? Bagaimana dukungan kebijakan riset di bidang teknologi pertanian, dukungan sumber daya, kebijakan tata niaga, hingga jaminan pasar?
Ada delapan prasyarat bagi petani untuk bisa mencapai tingkat hidup yang layak.
Pertama, pengusahaan lahan pertanian. Bagi petani Indonesia, untuk mencapai taraf hidup ideal, mereka harus memiliki lahan pengusahaan dua hektar per rumah tangga petani. Pengusahaan lahan ini cukup memenuhi kebutuhan petani dengan tiga anggota keluarganya.
Dengan mengelola lahan dua hektar, petani padi, misalnya, setiap tahun bisa mendapatkan penghasilan bersih sekitar Rp 40 juta. Pendapatan petani bisa Rp 60 juta jika lahan itu bisa ditanami padi tiga kali setahun.
Kenyataannya lain. Pendataan usaha tani oleh Badan Pusat Statistik tahun 2009 menunjukkan, ada 58,08 persen dari total rumah tangga tani padi (sebanyak 14,99 juta rumah tangga) menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Adapun untuk rumah tangga petani jagung 51,88 persen dari total 6,71 juta rumah tangga.
Dengan lahan sesempit itu, untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup, petani menyambi sebagai buruh tani atau pekerja kasar lainnya.
Prasyarat kedua, tersedianya infrastruktur dasar pertanian, seperti jaringan irigasi, jalan, listrik, hingga transportasi. Namun, data Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan, lebih dari 340.000 hektar saluran irigasi rusak berat, sedangkan 1,16 juta hektar lainnya rusak ringan.
Buruknya infrastruktur juga didera petani hortikultura, pekebun, dan nelayan. Padahal, infrastruktur pertanian yang memadai mendorong produktivitas dan menekan biaya, memperlancar arus barang kepada konsumen, dan memberikan insentif pendapatan bagi petani.
Prasyarat ketiga, dukungan teknologi pertanian dalam bentuk varietas dan teknik budidaya yang bisa meningkatkan pendapatan petani. Faktanya, komersialisasi benih tidak jalan. Lembaga penelitian dan industri pembibitan jalan sendiri-sendiri.
Khusus jagung, lebih dari 50 persen sumber benih dipasok perusahaan multinasional, yang harganya terus melambung. Khusus untuk kedelai, tebu, dan kacang-kacangan belum berhasil. Perakitan benih padi bagus, tetapi masih harus terus dipacu.
Keempat, dukungan sarana produksi. Biaya produksi mahal akibat naiknya harga benih, pupuk, obat-obatan, sewa lahan, dan buruh tani. Di Karawang saja, bayaran buruh tani per hari Rp 50.000 per orang. Harga alat-alat pertanian mahal.
Kelima, jaminan pasar dalam bentuk jaminan harga dan barang. Meski pemerintah punya tanggung jawab terkait pasar, kebijakan ke arah sini belum tampak.
Kebijakan pembangunan pertanian terlalu berat pada peningkatan produksi. Adapun pasar acap ditinggalkan. Petani dengan sumber daya manusia rendah dibiarkan bertarung sendiri dengan pasar global.
Di Merauke, Papua, misalnya, lebih dari separuh transmigran-petani di Distrik Sota beralih menjadi buruh bangunan. Pemicunya, mereka selalu merugi dalam usaha tani. Biaya produksi mahal, sementara pasar terbatas, harga jatuh.
Pengelolaan pascapanen dan pasar komoditas diabaikan pemerintah. Petani meminta lantai jemur juga tidak digubris. Praktis hanya sedikit dikembangkan pasar pertanian baru.
Keenam, perlunya perlindungan kepada petani dari serbuan produk barang impor. Perlindungan bisa dengan menghambat produk asing masuk. Namun, bisa dengan meningkatkan daya saing produk petani.
Ketujuh, pemerintah harus bisa menciptakan pekerjaan alternatif bagi petani dengan membangun sektor industri. China, AS, Jepang, dan Korea Selatan sudah melakukannya.
Kedelapan, tantangan melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Untuk memastikan arah pembangunan pertanian benar, lihatlah kebijakan makro pembangunan pertanian yang ada.
Dalam lampiran pidato kenegaraan Presiden pada 16 Agustus 2010, dicanangkan tujuh prioritas pembangunan pertanian.
Hal itu, antara lain, terpeliharanya ketersediaan beras dan meningkatnya ketersediaan pangan pokok lainnya dari produksi dalam negeri. Selain itu, tercapainya tingkat pertumbuhan PDB sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan rata-rata 3,7-3,9 persen per tahun dan membaiknya tingkat kesejahteraan petani yang diindikasikan peningkatan indeks nilai tukar petani 115-120 dan nelayan 115-120.
Secara eksplisit, kebijakan itu belum menjawab prasyarat bagi petani untuk hidup layak. Dan, bagaimana Kementerian Pertanian menerjemahkan kebijakan makro itu?
Kemtan mencanangkan tujuh gema revitalisasi, yakni revitalisasi lahan, perbenihan dan perbibitan, infrastruktur dan sarana, sumber daya manusia, pembiayaan, kelembagaan petani, serta teknologi dan industri hilir.
Tujuh gema revitalisasi pertanian itu nyaris cita-cita sempurna. Tetapi, bagaimana operasionalisasinya? Rencana Strategis Pembangunan Pertanian 2009-2014 menunjukkan, alokasi anggaran pertanian yang besar dimanfaatkan untuk program khusus yang menjangkau sejumlah kecil petani.
Sebaliknya, anggaran yang kecil dipakai untuk menjalankan program yang bersifat umum, yang diperuntukkan bagi sebagian besar petani.
Misalnya, dana pengembangan usaha agribisnis pedesaan yang tiap tahun dananya lebih dari Rp 1 triliun tidak bisa dinikmati semua petani. Itu pun kalau tidak terjadi penyimpangan di lapangan.
Begitu pula dana yang disalurkan pada Program Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat dan Sarjana/Pemuda Membangun Desa. Untuk program yang bersifat umum, Kemtan mengalokasikan 300 ton benih padi dan 80 ton jagung per tahun untuk lebih dari 20 juta petani padi dan jagung dengan luas lahan 15 juta hektar.
Program pembiayaan usaha perbibitan sapi melalui program Kredit Usaha Perbibitan Sapi juga lamban. Begitu juga realisasi kredit usaha rakyat untuk sektor pertanian. Pencetakan 100.000 hektar lahan baru per tahun dalam program Reforma Agraria juga jalan di tempat.
Gerakan para penyuluh dalam mendorong petani memanfaatkan pupuk organik juga rendah. Hingga September 2010, penyerapan pupuk organik baru 30 persen dari rencana.
Memang ada bantuan sarana pascapanen, seperti traktor, pompa air, mesin penggilingan, perontok, pengering, sarana penyimpanan, alat pemerah susu, rumah potong hewan, serta alat pengolahan kompos dan biogas, tetapi tidak banyak.
Tampaknya kebijakan makropertanian dan kebijakan sektoral pertanian tidak menjawab persoalan mendasar petani. Ibarat calon penumpang, petani diminta menunggu kereta yang tak akan pernah lewat.
No comments:
Post a Comment