Selain itu, penghematan bahan bakar minyak bersubsidi dan pemanfaatan gas bumi untuk domestik. Namun, Kardaya sama sekali tidak menyinggung soal produksi minyak mentah yang kembali gagal mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010.
Sampai 30 September 2010, rata-rata produksi minyak 956.509 barrel per hari (bph) dari target 965.000 bph. Salah satu penurunan produksi paling besar terjadi di Chevron Pacific Indonesia (CPI).
CPI kehilangan produksi hampir 30.000 bph sejak tiga minggu lalu karena kebocoran pada pipa gas yang seharusnya memasok gas untuk injeksi sumur bor mereka.
Anggota Tim Pengawas Peningkatan Produksi Migas, Rudi Rubiandini, mengemukakan, tingginya frekuensi gangguan produksi yang tidak direncanakan (unplanned shutdown) menjadi penyebab utama produksi minyak mentah tidak mencapai target.
”Ini menunjukkan kurangnya pengawasan operasional yang sayangnya tidak dilakukan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas,” kata Rudi.
Tim sudah berulang kali memberikan masukan kepada Menteri ESDM. Namun, disesalkan rekomendasi yang sangat detail terkait operasi migas tidak pernah diperhatikan. Salah satu anggota tim mengeluhkan Menteri ESDM selalu balik mengajari para anggota tim dengan ide-ide makro yang terlalu ideal untuk dijalankan.
Anggota Komisi VII DPR, Satya Wira Yudha, mengatakan terlalu banyak klaim keberhasilan Kementerian ESDM yang sebenarnya hanya melanjutkan program.
”Fasilitas penampung gas alam cair adalah program lama pemerintah yang memang sudah berjalan. Evaluasi kinerja juga tidak menyinggung kegagalan Kementerian ESDM dalam mengawal program konversi minyak tanah ke gas yang memakan korban tewas puluhan konsumen,” ujar Satya.
Klaim penghematan BBM juga jauh dari kenyataan. Faktanya, masyarakat dibuat pusing dengan rencana pembatasan BBM subsidi yang maju mundur. Rencana pembatasan pemakaian BBM subsidi untuk kendaraan produksi tahun 2005 dan setelahnya diragukan efektivitasnya.
Pengamat migas Pri Agung Rakhmanto menilai pemerintah tidak memiliki kebijakan efisiensi bahan bakar yang jelas. ”Kebijakan pemerintah melulu reaktif dan tidak kreatif. Kalau memang mau membatasi penggunaan BBM subsidi, harus diperjelas pengguna di kategori mana saja yang tidak lagi layak disubsidi, subsidi itu akan dialihkan untuk apa saja, semua harus jelas,” kata Pri Agung.
Di subsektor energi terbarukan, Kementerian ESDM mengklaim berhasil meningkatkan pemanfaatan panas bumi. Ironisnya, Asosiasi Panas Bumi Indonesia justru mengeluhkan kemandekan proyek-proyek panas bumi.
Keputusan Menteri ESDM atas harga panas bumi sebesar 9,7 sen dollar per kWh diacuhkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Alasan PLN, lelang wilayah panas bumi yang dilakukan pemerintah daerah tidak sepenuhnya layak secara ekonomis.
Padahal, proyek pembangkit listrik yang memanfaatkan panas bumi menjadi andalan pemerintah dalam program percepatan kelistrikan tahap kedua. Dengan beberapa hambatan itu, target 6.400 megawatt listrik dari panas bumi pada tahun 2014 kemungkinan besar tidak bakal tercapai.
Di subsektor kelistrikan, belum ada jaminan pasokan bahan bakar untuk PT PLN. Perseroan kembali merencanakan impor batu bara. Padahal, Kementerian ESDM mengklaim sukses menerapkan kewajiban memasok batu bara bagi kebutuhan domestik.
Masalah di subsektor pertambangan tidak kalah serius. Dua tahun setelah Undang-Undang Mineral dan Batu Bara diterbitkan, peraturan pelaksananya belum juga lengkap. Dari empat peraturan pemerintah (PP) yang direncanakan, baru dua yang selesai. Itu pun belum bisa diterapkan di daerah. Anggota Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Irwandy Arif, mengkhawatirkan kevakuman aturan itu akan semakin menciutkan pelaku industri.
”Kita semakin tidak atraktif dari segi iklim investasi,” ujar Irwandy.
Idealnya, yang harus memimpin Kementerian ESDM adalah figur dari kalangan profesional yang memiliki kompetensi dan memahami sektor energi secara menyeluruh.
Sektor energi akan semakin terpuruk jika dipegang orang yang tidak mempunyai kapabilitas dan integritas di bidang ESDM.
Terlalu mahal ”ongkosnya” bila persoalan ESDM yang dinilai sangat krusial bagi masyarakat banyak dipimpin oleh pejabat publik yang tidak kompeten dan tidak diterima para pemangku kepentingan di sektor ini.
Meskipun figur pimpinan di Kementerian ESDM merupakan jabatan politis dan merupakan kewenangan serta hak prerogatif dari Presiden, sektor ini tidak layak bila dipimpin oleh mereka yang tidak memiliki disiplin dan integritas.
Persyaratan itu penting dimiliki orang nomor satu di Kementerian ESDM agar bisa diterima para pemangku kepentingan di sektor ini dan diapresiasi para investor yang bergerak di industri migas.
Setahun kinerja Kementerian ESDM tidak hanya diukur dari pencapaian target-target kuantitatif, tetapi juga ditentukan oleh karakter dan disiplin dari pimpinan di kementerian ini.
Waktu setahun tidak cukup bagi seorang menteri yang tidak memiliki penguasaan tentang masalah energi.
No comments:
Post a Comment