Hal ini mengemuka dalam sarasehan menyongsong kelahiran Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bertajuk ”Jaminan Sosial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja” di Jakarta, Senin (18/10).
Sarasehan diselenggarakan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) dan Friedrich Ebert Stiftung (FES), organisasi nonpemerintah asal Jerman yang aktif mendorong perkembangan sosial ekonomi dan demokrasi.
Sekretaris Jenderal Komite Aksi Jaminan Sosial Said Iqbal menilai RUU BPJS versi DPR masih diskriminatif dan terbatas. Ini antara lain terlihat dari materi RUU yang tak menjamin adanya jaminan kesehatan seumur hidup kepada seluruh rakyat.
”Dalam konsep DPR, BPJS juga berfungsi ganda sebagai regulator dan operator. Padahal, semestinya BPJS berbentuk wali amanah. Proses pemilihan dewan pengawas dan direksi berlangsung transparan tanpa melibatkan DPR,” ujar Iqbal.
Iqbal, yang juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, menyinggung keluhan pengusaha terkait pesangon pekerja 31 kali upah sebagai faktor negatif investasi. Ia menilai, itu terjadi karena ketiadaan jaminan sosial sehingga pekerja sangat bergantung pada penghasilan mereka.
Di Malaysia, pengusaha hanya membayar pesangon pekerja lima kali upah. Namun, mereka membayar jaminan hari tua yang tinggi sehingga kalau memecat pekerja dengan masa kerja 20 tahun harus membayar kompensasi 61 kali upah.
Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga, yang juga Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia, mengingatkan, jaminan sosial berbeda dengan bantuan sosial. Hingga kini, Indonesia belum melaksanakan jaminan sosial sesuai prinsip perlindungan sosial.
Ketua Harian YTKI Awaloeddin Djamin prihatin jaminan sosial Indonesia semakin tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, bahkan Vietnam. ”Mari kita membuat rumusan BPJS yang baik untuk menjalankan kebijakan (UU SJSN) yang baik ini,” ujarnya
No comments:
Post a Comment