Arus modal masuk begitu deras, rupiah menguat begitu tajam, pasar modal dan obligasi begitu bergairah. Dalam pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional atau Bank Dunia, pertemuan dengan para investor di AS, dan presentasi saya di Harvard University beberapa waktu lalu, saya merasakan optimisme dan minat yang begitu besar akan Indonesia.
Sesuatu yang begitu lama absen. Namun, di tengah Indonesia yang bergelora ini saya ingin mengingatkan: ada potensi dalam perkembangan global yang sangat serius dan bisa mengganggu Indonesia.
Kebijakan bunga rendah di negara maju tampaknya masih akan terus berlangsung. Begitu banyak likuiditas global yang tersedia yang akan mencari balas jasa yang tinggi di pasar modal dan obligasi. Akibatnya arus modal akan mengalir deras ke emerging markets (EM), termasuk Indonesia. Perlu diingat, sumber dari arus modal masuk kali ini adalah sisi suplai: bunga rendah di negara maju. Itu sebabnya, penanganannya agak berbeda.
Sayangnya, kita tak terbiasa menangani ini, menangani problem yang enak. Saya sebut problem enak karena mengelola arus modal masuk lebih menyenangkan ketimbang arus modal keluar. Namun, perlu diingat, arus modal yang mengalir dahsyat ini berisiko menimbulkan gelembung dahsyat dalam perekonomian. Ini dapat mengganggu perekonomian kita.
Dalam teori ekonomi dikenal istilah trinitas yang tak suci atau trinitas yang mustahil. Maksudnya, sebuah negara tak mungkin menjalankan tiga kebijakan sekaligus: menjaga nilai tukar, arus modal bebas, dan kebijakan moneter yang independen.
Kita dapat mempertahankan nilai tukar dengan kebijakan moneter yang independen, tetapi harus memberlakukan kontrol terhadap arus modal, atau kita dapat membiarkan arus modal bebas bergerak dengan tetap menjaga kebijakan moneter yang independen, tetapi harus membiarkan nilai tukar mengambang.
Atau kemungkinan terakhir adalah memiliki arus modal bebas, nilai tukar yang tetap, tetapi mengorbankan kemampuan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi. Di sinilah masalah yang akan dihadapi BI dan pemerintah. Jika arus modal masuk terjadi sangat deras, kebijakan makro akan dibatasi oleh trinitas yang tak suci itu. BI dan pemerintah harus memilih kebijakan, sayangnya tiap kebijakan memiliki biaya dan risiko yang tidak kecil.
Ada beberapa pilihan yang dapat diambil. Pertama, membiarkan arus modal masuk. Implikasinya, rupiah akan sangat kuat. Sektor ekspor—terutama manufaktur padat karya—akan terpukul dan penciptaan lapangan kerja akan terganggu. Risiko penyakit Belanda muncul dan tekanan inflasi meningkat. Padahal tahun depan, kita harus berhati-hati dengan kenaikan harga pangan. BI juga sulit mengatasi inflasi dengan menaikkan bunga karena menaikkan bunga mendorong arus modal masuk kian besar.
Kedua, melakukan intervensi untuk menjaga nilai tukar rupiah dan mengakumulasi cadangan devisa. Sayangnya, biayanya sangat mahal. Lihat saja balas jasa dari T-bills AS yang nyaris 0 persen, sedangkan tingkat bunga SBI di atas 6 persen. Artinya, untuk setiap unit dollar AS yang diintervensi BI, setidaknya ada biaya 6 persen. Bisa dibayangkan jika BI melakukan intervensi dan mengakumulasi cadangan devisa neraca BI akan tertekan.
Ketiga, melakukan restriksi terhadap arus modal masuk. Brasil mulai menerapkan Tobin Tax, atau pajak atas arus modal jangka pendek. Beberapa negara mulai mengambil opsi pengaturan atas arus modal. Beberapa bulan lalu BI menerapkan peraturan yang mengharuskan investor memegang SBI setidak-tidaknya 1 bulan.
Saya kira langkah BI tepat. Melihat deras dan masih panjangnya arus modal mengalir, perlu dipikirkan kemungkinan penggunaan instrumen administratif atau akuntansi untuk mengurangi tekanan arus modal masuk ini. Dalam diskusi dengan Dani Rodrik dan Daniel Schydlowsky di Harvard University minggu lalu, mereka mengingatkan saya tentang pentingnya kreativitas pemerintah dan BI.
Memang ada risiko dari pilihan ini: biaya pembiayaan jadi lebih mahal. Selain itu, apakah birokrasi kita sanggup dan cukup bersih dalam melakukan kebijakan administratif yang restriktif untuk mengurangi tekanan arus modal masuk ini. Ini harus dipertimbangkan masak-masak.
Keempat, mengurangi defisit anggaran agar ada ruang menurunkan bunga. Namun, dengan kondisi kebutuhan infrastruktur amat penting, apakah pilihan kebijakan ini tepat? Kita perlu stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.
Dalam kondisi kendala suplai, pertumbuhan ekonomi tak bisa didorong oleh kebijakan moneter. Karena setiap kali ekspansi moneter dilakukan, ekonomi memanas dan inflasi naik. Semua adalah pilihan sulit. Mana yang dikorbankan? Namun, bila tak berbuat apa-apa, risiko gelembung akan kian besar dan membahayakan ekonomi. Tentu kita bisa melakukan kombinasi dari semua opsi ini.
Pilihan lain adalah mempercepat pembayaran utang luar negeri. Percepatan pembayaran utang luar negeri juga akan sangat menguntungkan karena tingkat bunga yang rendah dan nilai tukar rupiah yang kuat. Yang sangat penting dilakukan adalah memanfaatkan arus modal ini bagi sektor riil. Perusahaan-perusahaan harus didorong untuk lebih banyak masuk bursa sehingga investor memiliki alternatif investasi yang lebih banyak dan risiko gelembung dapat dikurangi karena arus dana dapat dialirkan ke sektor riil.
Syaratnya: infrastruktur, iklim usaha, dan birokrasi yang baik tersedia. Apabila tidak, uang tetap berputar di sektor keuangan dan risiko gelembung meningkat. Ini tak bisa ditunda lagi. Dan ini membutuhkan bukan hanya kemauan politik, melainkan juga keberanian politik. Pemerintah harus berani tak populer. Jika kebijakan hanya ditujukan untuk menjaga keseimbangan dan dukungan politik, ekonomi dikorbankan. Itu sebabnya, di tengah optimisme saat ini, saya ingin mengingatkan perlunya antisipasi segera. Pilihan kebijakan makro memang terbatas karena adanya trinitas tak suci itu. Namun, bukan berarti kita diam saja. Jangan sampai terlambat. The time to repair the roof is when the sun is shining, begitu ujar JF Kennedy.
No comments:
Post a Comment