Hampir setahun berlalu sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan mengampanyekan program andalan, minapolitan. Kini, pamor minapolitan, yang berbasis komoditas perikanan unggulan tersebut, bak layu sebelum berkembang seiring liku-liku persoalan yang merintanginya.
Tahun 2009, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan 41 lokasi percontohan pengembangan kawasan minapolitan. Sebanyak 24 kabupaten/kota untuk perikanan budidaya, 9 kabupaten/kota untuk perikanan tangkap, dan 8 kabupaten/kota untuk budidaya garam. Dengan alasan persiapan, pelaksanaannya diundur hingga tahun 2011.
Belakangan, kegundahan pelaksanaan minapolitan kembali muncul tatkala sejumlah pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memaparkan perkembangan terakhir persiapan program itu. Lemahnya komitmen pemerintah daerah dituding sebagai pemicu hambatan pelaksanaan minapolitan.
”Pemerintah pusat sudah berkomitmen, tetapi justru daerah tidak siap dan komitmennya lemah,” kata Syamsuddin, Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya KKP.
Minapolitan merupakan manajemen ekonomi kawasan berbasis komoditas perikanan unggulan dengan fokus pelaksanaan di daerah. Setiap kawasan terdiri atas sentra produksi terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Persyaratan yang wajib dimiliki daerah, antara lain, rencana induk minapolitan, penetapan lokasi dan komoditas unggulan, kelompok kerja lintas dinas, infrastruktur dasar, unit pengolahan ikan, dan keamanan.
Kini, kurang dari tiga bulan menjelang tahun 2011, hanya 9 dari 24 kabupaten/kota percontohan minapolitan perikanan budidaya yang punya rencana induk minapolitan. Sembilan kabupaten/kota minapolitan perikanan tangkap baru menjajaki penyusunan rencana induk.
Padahal, tahun 2011 pemerintah siap menggulirkan anggaran Rp 584,02 miliar untuk minapolitan, yaitu Rp 364,78 miliar untuk perikanan tangkap, Rp 149,88 miliar untuk perikanan budidaya, dan garam Rp 69,36 miliar.
Pembentukan minapolitan disinergikan dengan program Kementerian Pekerjaan Umum untuk infrastruktur, anggarannya Rp 1,7 triliun.
Lalu, mengapa pemerintah daerah tidak segera menangkap peluang itu? Sejumlah daerah mengaku kebingungan menentukan komoditas unggulan yang siap digarap, selain kesulitan menetapkan lokasi dan menyiapkan sarana pendukung. Bahkan, ada beberapa daerah yang belum memiliki rencana tata ruang wilayah sebagai penyangga rencana induk minapolitan.
Minapolitan hanya satu dari sekian banyak rencana yang digulirkan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad di awal kepemimpinannya setahun lalu. Janji lain yang dilontarkan adalah menggenjot produksi perikanan nasional 353 persen pada tahun 2014.
Untuk mewujudkan itu, Fadel melengkapi janjinya dengan janji bahwa tahun ini akan memberikan paket pengembangan perikanan budidaya bagi wirausaha pemula di 273 kabupaten/kota di 33 provinsi, menghapus retribusi perikanan untuk nelayan, revitalisasi 1.000 tambak udang, meningkatkan kapasitas industri pengolahan, restrukturisasi 1.000 kapal ikan tanpa motor menjadi kapal motor berbobot mati 30 ton sampai tahun 2014.
Bantuan wirausaha budidaya dengan modal usaha Rp 6 juta- Rp 17,5 juta per paket. Faktanya, dana stimulus untuk 2.410 paket wirausaha budidaya senilai Rp 184,4 miliar hingga saat ini belum cair. Hanya tersisa 2,5 bulan untuk melakukan tender sarana produksi hingga penyaluran paket budidaya kepada wirausaha pemula.
Adapun janji penghapusan retribusi perikanan di sejumlah daerah ditolak. Revitalisasi 1.000 hektar tambak udang macet karena tak didukung penjaminan kredit bagi petambak.
Sementara program restrukturisasi kapal ikan motor dikhawatirkan menjadi bumerang bagi nelayan kecil karena hambatan pasokan BBM bersubsidi belum terpecahkan.
Di hilir, upaya pengembangan industri pengolahan ikan belum signifikan. Kapasitas produksi industri pengolahan hanya 57 persen dari kapasitas terpasang. Industri pengolahan dalam negeri nyaris tak berkembang, sedangkan investasi asing terus mengalir ke lini-lini produksi.
Produksi ikan yang terus digenjot tanpa jaminan pasar sama saja dengan memiskinkan nelayan dan pembudidaya. Hal ini karena harga jual ikan akan anjlok, belum ada terobosan untuk menjamin pasar dan melindungi harga jual ikan nelayan.
Beberapa kendala itu melahirkan pertanyaan, sanggupkah pemerintah memenuhi ambisi menaikkan produksi perikanan budidaya 353 persen hingga 2014, dari 4,78 juta ton (2009) menjadi 16,89 juta ton pada 2014.
Padahal, tugas KKP tak hanya meningkatkan produksi ikan, tetapi juga kesejahteraan nelayan dan pembudidaya serta menjaga sumber daya alam dan lingkungan agar lestari.
Sebenarnya, target menggenjot produksi perikanan digulirkan sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama maupun kedua.
Namun, faktanya setiap pemerintahan tak sanggup memenuhi target itu. Kendalanya dari waktu ke waktu sama, yaitu soal infrastruktur, permodalan, pengolahan, dan pemasaran.
Jika ingin mencapai target itu, mulailah dengan persiapan matang dan membangun koordinasi pusat-daerah. Dukungan harus dimulai sejak hulu.
Tinggalkan kabupaten/kota percontohan minapolitan yang tak memiliki komitmen serius. Pemilihan wilayah percontohan minapolitan dan penyaluran paket wirausaha harus dilandasi kemampuan dan potensi, bukan hasil tawar-menawar dan kepentingan politik.
Indonesia dengan panjang garis pantai 95.000 kilometer, lautan dangkal 24 juta hektar, dan luas teluk 4,1 juta hektar butuh upaya nyata agar potensi besar ini bisa dibangunkan. Tidak hanya jadi potensi. Kerja besar ini harus diimbangi pengawasan agar ratusan miliar anggaran negara untuk minapolitan dapat dipertanggungjawabkan pemanfaatannya bagi rakyat. Rakyat menunggu bukti, bukan janji.
No comments:
Post a Comment