Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil, Minggu (24/10), saat dihubungi di Surabaya, Jawa Timur, mengungkapkan, kondisi ini terjadi akibat petani kesulitan dalam menggilingkan tebu di pabrik gula (PG).
Petani yang tidak punya kedekatan dengan PG harus mengantre lama saat mau menggiling tebunya. ”Akibatnya, petani frustrasi dan memilih menjual tebu mereka kepada pedagang, yang memiliki akses ke PG,” katanya.
Arum mengatakan, luas areal tebu nasional mencapai 450.000 hektar. Dari luasan itu, sekitar 350.000 hektar merupakan real tebu rakyat, baik dalam bentuk kerja sama dengan PG seluas 300.000 hektar maupun petani tebu mandiri 50.000 hektar.
”Diperkirakan, saat ini tak kurang dari 30 persen areal tebu rakyat yang tebunya diperdagangkan di pasar bebas dan tidak digiling langsung ke PG. Jumlahnya terus meningkat setiap tahun,” katanya.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia sekaligus Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo mengingatkan, bila tidak ada langkah konkret untuk mengatasinya, akan terjadi liberalisasi perkebunan tebu rakyat.
”Konsep perkebunan tebu rakyat akan lenyap dan berganti dengan liberalisasi. Karena siapa yang punya modal kuat akan mampu membeli dengan harga tinggi,” katanya.
Kalau itu terjadi, ke depan PG hanya akan menjadi ”tukang jahit”. PG tak punya lagi kewajiban membina petani tebu. Akibatnya, petani dilepas sendiri, dan dampak jangka panjangnya serius bagi industri pergulaan nasional.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus turun bersama mengantisipasi ancaman liberalisasi itu. Salah satu penyebab utama perdagangan tebu juga karena terjadi penurunan produksi tebu yang berakibat PG kesulitan bahan baku.
Untuk mencapai kinerja optimal yang efisien, PG harus bekerja sesuai kapasitas produksi. Karena pasokan tebu kurang, mereka mengejar, termasuk membeli langsung dari petani ataupun pedagang.
No comments:
Post a Comment